Worst Day of My Life Pt.2

373 51 17
                                    

"AAAAAH!"–aku terbangun oleh suara keributan yang terdengar di bawah–"TOLONG!"

"AAGH! IBU"–kami semua bangun dari tidur, saling menatap kebingungan–"YA ALLAH! YA ALLAH!"

Aku melihat jam tanganku, aku telah tertidur lima jam dan kini waktu menunjukan pukul dua pagi. Kami saling bantu berdiri, lalu segera turun dari atap melalui tangga darurat.

WRAAAAGGH!
ROAAARRR!

Dari lantai ketiga, kami bisa mendengar jelas jerit manusia dan mayat hidup bercampur aduk. Kami berdiri di belakang railing pembatas lantai tiga, melihat ke bawah. Orang-orang berlarian tanpa arah, saling bertabrakan, belasan mayat hidup entah dari mana telah memenuhi lobby lantai satu.

Dar! Dar! Dar!
Bunyi letusan tembakan dalam ruangan terdengar jauh lebih nyaring ketimbang di luar, kami menyumpal lubang telinga dengan tangan.

"Tameng! Tameng masuk tameng!"
"Woi maju woi! Gerak gerak!"
Polisi bertameng anti huru-hara masuk, dan mulai meringsik ke dalam bangunan. Polisi membagi formasi menjadi empat orang per-tim, dua orang menggunakan tameng di depan, dua bersenjata laras panjang mengikuti di belakang, menembaki dari sisi kiri dan kanan.

Dalam dua puluh menit, seisi lantai satu sudah diamankan dari mayat hidup. Polisi mulai naik ke lantai-lantai atas mengamankan setiap sudut gedung. Aku segera turun ke bawah hendak mencari ayah, ketika polisi mulai naik ke lantai atas.

"Sely!"
Panggil Ayah dari sebuah ruang kelas di lantai satu. Aku menghampiri Ayah, Dinda dan Fitri berada tepat di belakangku.

"Kemana aja kamu?" tanya Ayah. Mukanya penuh kerutan, nada bicaranya tinggi, ia mencuil dahi ku dengan jari telunjuknya hingga kepalaku sedikit terdorong ke belakang.

"Sely di atas dari tadi! Ga kenapa-napa, makasih!"
Jawabku dengan nada kesal, sambil menepis tangannya. Aku datang dengan kekhawatiran untuknya, meski tadi dia membiarkanku hampir mati, dan sekarang ia sekurang ajar ini? Berengsek.

"Lagian kenapa Ayah tiba-tiba peduli? DARITADI,"–aku membentak saat menyebut kata itu–"Sely hampir mati. Dari tadi sore! Kemana aja?"
Emosiku sontak meroket, aku tak bisa menerima sikap Ayah.

Ayah terdiam, ia menatapku dengan wajah penuh amarah pula.
"Kenapa? MARAH?" bentak ku. "Emang dipikir yang kehilangan Aji Ayah doang? Ha!"–jariku menunjuk-nunjuk Ayah–"SELY JUGA! Bedanya Sely–"

"CUKUP!" potong ayah.

Aku tak menghiraukannya. "SELY GA SEBERENGSEK ITU BUAT NGEBIARIN ORANG MATI!"

"DIEM KAMU!" bentak ayah. Matanya melotot, telapak tangan kanannya mengepal, seraya tangan kirinya menunjuk balik padaku. "TAU APA KAMU–"

Aku menjawab, "Tau apa? Ooh jelas tau gue!"

"LO CUMA PEDULI SAMA ANAK ISTRI LO KAN?"–bentakku tak lagi tanpa menghiraukan norma sopan santun–"IYA, GUE BUKAN ANAK LO. BARU INGET GUE! PANTES AJA HAMPIR MATI JUGA GA PEDULI YE LO?"

Ayah nampak sangat ingin mengayungkan tangannya, ia melihat ke sekitar, dan menatap teman-teman baruku di belakang. Aku tanpa sadar telah mengucurkan banyak air mata, mataku mulai terasa dipenuhi air yang tertahan, menghalangi sebagian pandangan.

"Semoga Ibu gue masih bisa nerima lo kalo gue ceritain semua tadi," ucapku menutup pertengkaran. Seraya tubuhku ditarik perlahan ke belakang oleh Dinda dan Fitri, menjauhkan dari ayah.

Ya... Aku dan Ari, bukan anak kandungnya. Ayah kandung kami terpisah ajal dari Ibu sepuluh tahun lalu, kala aku berumur sembilan tahun. Ibu kami; Melani Putri, menikah kembali dengan lelaki ini, Romi Gusman, biasa dipanggil "Gus" oleh kerabatnya, tapi Ibu lebih suka dengan Romi.

Era Yang MatiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt