As Death Passes By

103 16 1
                                    

Ari

"Formasi macem apa yang bakal efektif hadapin recs sebanyak ini?" Tanyaku dengan ragu.

"Entahlah, yang penting kita usaha bikin penghalang dulu. Rubuhkan sebanyak mungkin!" seru Dade.
Ia baru saja mencetus sebuah rencana yang sebenarnya gambling, saat ajal tampak di depan mata.

"Sebarin tembakan seluas-luasnya, jangan terfokus di depan kita aja. Kalo sama-sama, kita pasti bisa!" Ucap Wisnu menyemangati, seraya ratusan recs di hadapan kami mendekat, dan ribuan lainnya menyusul.

Semua moncong senjata yang tersedia kini mengarah ke gerombolan recs, 14 orang dari kelompokku dan Dade berbaris memanjang. Tidak termasuk empat lain, yaitu Ibu, Arfan, Fitri, dan istri Dade yang berlindung di balik barisan. Sementara aku hanya melihat dua kelompok penyintas lain yang memilih bertahan melawan gerombolan recs, sisanya kabur menjemput ajal di tangan GEPAT.

Dar!
Tembakan pertama keluar, segera disusul dengan tembakan dari seluruh senjata lain.

Tembakan pertamaku meleset, aku mencoba mensejajarkan titik merah pada optik red dot ke salah satu kepala recs sekali lagi.
Dar!
Meleset lagi, peluru menyasar ke recs di belakangnya.

"The hell?" Gumamku, sambil menatap senapan MCX yang digadang akurat ini. Aku mencabut optik red dot secepat mungkin, lalu menaikan pisir dan pejera bawaan MCX yang terlipat.

Dar!
Tembakanku kali ini merubuhkan recs yang terbidik. Tembakan-tembakan selanjutnya pun tepat sasaran.

Klik!
Bunyi kamar peluru yang terkosongkan, aku segera mengganti magasin.
Puluhan... Mungkin mendekati ratusan recs telah kami rubuhkan dalam kurang dari lima menit. Sebuah penghalang yang terbentuk dari puluhan mayat di tanah, menjatuhkan dan memperlambat gerak recs di depan kami.

"Samping! Samping ketembus!" seru salah seorang keluarga Dade.

"It's not working...." (Ini gak berhasil...) Ucap Sely yang berdiri di sebelahku.
Gelombang recs yang mendekati kami dari sisi kiri dan kanan tak terbendung, meski untuk sesaat rencana ini tampak berhasil menghadang gelombang recs di depan kami.

Aku bergerak ke sisi kanan, anggota keluarga Dade sepertinya sama sekali belum biasa menggunakan senjata api. Tangan mereka bergetar, mengganti magasin saja memakan waktu yang terlalu lama. Ratusan recs di sisi kanan telah melalui garis pertahanan kami, dan mendekat dari sisi kanan.

Dar-Dar-Dar! Dar-Dar!
Tembakan bertubi dari MCX-ku merubuhkan beberapa recs di sisi kanan. Tembakanku mulai tak terarah, aku mulai mempercepat tempo menekan pelatuk. Yang penting arahkan laras setinggi kepala, entah kepala recs mana yang akan kena.

Da-da-da-da-da-da-da-da-dar!
Tembakan automatis menyalak di belakangku, Ayah sepertinya mulai frustasi dan mengosongkan magasin AK-nya dalam mode tembak automatis.
"AAAAH! GAK ABIS-ABIS!" bentaknya.

DUAR!
Bunyi tembakan keras.
Ayah menjatuhkan AK-nya, lalu kembali menggunakan shotgun yang pelurunya tersisa 2 boks isi 10 butir lagi.

"Pah? Gimana ini!" tanya istri Dade.
Dade berhenti menembak, dan memutar otaknya untuk mencari ide lain.

"Apapun yang bapak pikirin, keluarkan aja Pak! Secepatnya!" ucap Wisnu. Sementara kian banyak recs yang berusaha mendekat dari tiga sisi, menghamburkan separuh stok peluru yang kami punya. Tekanan semakin kuat, rasanya aku ingin menyerah dan menembak kepala sendiri sebelum digerogoti mayat lapar.

"Intestines..." ucap Dade.

"Apa? Organ dalam?" sahut Sely yang berada di dekat Dade.

"Iya, organ dalam! Kita ambil mayat di depan, robek perutnya! Ingat, mereka berburu mengandalkan suara, pengelihatan, DAN AROMA," ujar Dade.
"Lindungi saya, saya mau tarik satu atau dua mayat!" Ucapnya, sambil mendekati tumpukan mayat di depan kami.

Era Yang MatiWhere stories live. Discover now