Dancing in The Dark - Republish Chapter 12. Engagement

7.9K 764 46
                                    

Zen terdiam di depan pintu masuk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Zen terdiam di depan pintu masuk. Di dalam sana, di ruangan yang memang diperuntukkan bagi keluarga kerajaan saat menerima tamu penting, Ratu terdengar menentang keras ucapan ucapan Tuan Willhem. Walaupun Zen samar mendengarnya, namun ia tahu, Sang Ratu mencaci dirinya, bahkan menginginkan kematiannya. Hatinya terasa begitu sedih. Belasan tahun berlalu sejak terkuaknya jati dirinya dan Ratu masih membencinya hingga tidak ada celah sedikitpun di hatinya untuk menerima seorang yang ia angkat sebagai anak di masa lalu. Seorang bocah laki-laki yang hidup sendirian dan diberi kemewahan sebagai seorang Pangeran, dipeluk, dicium kening dan pipinya, serta dibacakan cerita pengantar tidur. Ratu pernah sesayang itu padanya.

Elsa, yang menyadari kegelisahan Zen menyeletuk. "Tuan, anda tidak apa apa?"

Zen menoleh ke arah Elsa. "Ya, aku baik baik saja," jawab Zen sambil berusaha tersenyum. "Hal seperti ini sudah terbiasa untukku,"

Elsa termenung mendengar kalimat Zen. Ada kesedihan dan kegetiran dibalik kalimat itu. Zen pun membuka pintu. Seluruh tatapan tertuju pada Zen.

"Zen!" Sapa Anne senang. Ia menghampiri Zen lalu menariknya mengajaknya duduk di samping Anne.

"Ah, keponakanku sudah besar," Tuan Wilhem berdiri lalu menghampiri Zen.

"Paman.." Zen balas menyapa Tuan Willhem.

Tuan Willhem memeluk keponakannya dengan erat. "Kau semakin tampan. Mirip sekali dengan ayahmu. Aku seperti melihat dia di dalam dirimu," ujarnya.

Gigi Ratu gemertak marah dan Edward membuang mukanya.

"Paman, maaf aku tidak datang saat pemakaman Bibi Liliane," kata Zen memohon maaf. Bukan Zen tidak mau datang, tapi ia tidak bisa. Ratu melarangnya muncul di depan publik.

"Itu sudah berlalu sangat lama. Jangan kau pikirkan. Yang ingin kubicarakan padamu adalah ibumu punya berita gembira untukmu," kata Tuan Wilhem sambil menunjuk Ratu.

Ratu melirik Zen sinis. Dengan kasar ia mendengus.

"Jangan pernah panggil aku, Ibu." Sewotnya.

"Ma..maaf, Ratu. Aku tidak akan lancang,"

Ratu mencaci. "Kau...jika saja suamiku tidak membawamu kesini, hidupku tidak akan seterganggu ini," marahnya.

"Ratu.." Tuan Willhem geleng geleng kepala. "Kita sudah sepakat." Tuan Willhem mengingatkan.

Ratu berdecak. "Nanti malam, saat pertunangan Anne dan Hubert, kau akan kuperkenalkan di hadapan para tamu undangan sebagai penerus tahta ke tiga setelah Edward dan Anne. Selain itu, kau akan kuberi satu, ingat, hanya satu dan jangan berharap lebih! Hanya satu wilayah di kerajaan ini yang akan kuberi untuk kau pimpin."

Zen mengangguk patuh. Tapi bukan itu yang ia mau. Jauh dari lubuk hatinya, ia justru lebih ingin Ratu dan Edward untuk membuka hatinya daripada diberi satu dua atau tiga sekalipun wilayah kekuasaan. Bagaimanapun, wanita tua di hadapannya ini tetap Ibu yang sempat merawat dirinya untuk beberapa tahun di masa kecilnya.

SWEET LOVE STORY : DANCING IN THE DARK Where stories live. Discover now