40

3.1K 249 7
                                    

MAKIN CINTA

Dua bulan sudah pernikahan kami, dua bulan sudah aku mejalani hari-hari beratku karena ketidak berdayaan kakiku. Semua kegiatanku harus di stop secara paksa oleh Stefan dengan alasan pemulihan dan terapi begitu juga kegiatanku di rumah. Semua dibatasi tidak seperti dulu, saat kedua kakiku masih berfungsi normal.

Stefan kbali berperan menjadi ayah dan juga ibu untuk putra kami perannya bertambah saat kami resmi menikah, ia menjadi suami, suami yang begitu menjaga istrinya. Untuk menjagaku bahkan dia rela menyerahkan pekerjaannya kepada Hito, membuatku berang. Aku tahu dia ingin merawatku, merawat anaknya agar aku tidak kelelahan dan cepat sembuh tapi dia terlalu berlebihan. Meskipun aku hanya duduk di atas kursi roda, aku masih bisa mengurus dia, mengurus Dabish dan juga pekerjaanku meski tak sesempurna dulu. Tidak harus seperti ini, membebaskanku dari segala hal. Aku bosan jika hanya berdiam diri, menatap kegiatan mereka tanpa bisa membantu. Aku dengan sikap keras kepalaku dan Stefan dengan sikap keras kepalanya terkadang membuat kami cekcok berakhir dengan saling mendiami meski hanya terjadi beberapa menit saja karena kita berdua sadar, kita tak bisa jika saling mendiami apalagi berjauhan. 

Rasa bosanku sedikit terobati ketika Stefan tak bisa pulang lebih awal karena rapat mingguan yang rutin dilakukan di Restoran seperi hari ini. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore dan belum ada tanda-tanda Stefan akan pulang. Aku memaksakannya diri berkutat dengan bahan makanan di dapur dengan bantuan mbok Imah. Beruntung si mbok mengerti keadaanku dan membiarkanku selama sekali dalam seminggu untuk terjun langsung ke dapur.

"Ikannya udah, sambal udah, tinggal sayurnya aja." Kataku sembari mengecek menu makan malam hari ini. 

"Pasti den Danish sama Mas Stefan senang sekali dengan menu makannya, mereka kalau udah lihay ikan matanya ijo." Ungkap si Mbok. Memang benar apa yang si mbok ucapkan, mereka lebih bahagia ketika melihat ikan daripada melihat uang. Makanya aku bersyukur punya dua jagoan yang nggak pernah mendewakan uang.

"Stefan curiga nggak ya mbok sama rasa makananya?"

"Si mbok yakin si kalau Mas Stefan tahu mana madakan mbok mana masakan Nak Yuki, tapi mbok yakin kalau Mas Stefan nggak bakalan marah. Mas Stefan kan sayang dan Cinta sama kamu, nak."

"Tapi Yuki lebih baik bilang deh ya Mbok, takut-takut dia marah."

"Si mbok sangat setuju,"

Surga istri berada di suami, jadi segala sesuatu harus ijin sama suami dulu. Daripada nanti timbul masalah lebih baik aku ijin ke Stefan, toh keadaanku sudah mulai membaik. Aku sudah bisa berjalan meski hanya sampai sepuluh langkah. Lajuan yang cepat kata dokter terapisku.

Aku juga bahagia karena tidak membuat Stefan repot lagi. Aku kasihan padanya karena harus membagi waktunya untuk ini dan iti sementara untuk dirinya sendiri kadang ia lalai.

"Assalaamu'alaikum...."

Pasti itu suara Stefan dan Danish. Aku segera mendorong kursiku mendekat ke mereka. Saat aku sampai di ruang tamu, aku melihat Stefan dan Danish sedang melepas sepatu mereka di teras sebelum mereka mengganti sepatunya dengan sendal rumah.

"Wa'alaikumussalam..." Jawabku, mengalihkan kegiatan mereka berdua. 

Danish langsung menubruk kursi rodaku dan menghambur ke dalam pelukan. Akhir-akhir ini Danish terlihat lebih manja dari sebelumnya. "Anak Bunbun udah besar masih aja manja." Kataku menggodanya.

"Biarin, Danish kangen Bunbun."

"Kan setiap hari ketemu sayang," aku mengacak rambut Danish yang sudah tak berdiri lagi seperti tadi pagi saat ia pamit untuk berangkat ke sekolah.

My Ex HusbandWhere stories live. Discover now