08. Penyesalan

1.4K 351 197
                                    

"Penyesalan selalu datang terlambat.
Saat kecewa dan luka masih melekat erat.
Penyesalan selalu datang saat kebodohan berakhir.
Setelah semua rasa yang manis menjadi getir."

*****

Malam menyingsing, kian beranjak menjemput pagi. Sebuah ruangan serba putih menguarkan aroma obat yang pekat. Tempat bagi mereka untuk menyembuhkan luka. Namun, terkecuali untuk satu luka yang bersarang di rongga dada, di sudut ruang rasa yang setiap incinya rapuh saat patah, ruang itu dinamai hati.

Wajah Arkan terlihat lelah. Ia beberapa kali mengerjapkan mata. Menahan kantuknya. Wajar, sebab memang sejak kemarin ia belum benar-benar beristirahat bukan?

Ia masih dengan cekatan mengompres sang kakak agar demamnya segera turun. Neira masih menutup rapat kedua kelopak mata yang terbingkai oleh wajah pucatnya.

Arkan memandang Neira lekat lalu ingatannya kembali pada beberapa jam lalu. Saat ia dengan gelisah menunggu pemeriksaan dan penanganan dokter terhadap Kakaknya.

"Nona Neira tubuhnya lemah sekali dan demamnya tinggi. Namun, telah kami tangani. Dia membutuhkan waktu yang cukup untuk beristirahat. Semoga kondisinya akan membaik dan segera pulih." tutur dokter wanita itu yang kini membuatnya mengingat kembali sosok yang harus bertanggungjawab atas keadaan kakaknya. Membuat emosinya kembali memuncak.

Arkan menarik napas dalam-dalam, meredam sesak yang menggelegak dalam dada. Kembali ia memandang wajah Neira dan sesekali disekanya keringat di wajah pucat itu.

Ia merasa sangat kasihan dengan keadaan kakaknya. Saat kondisi Neira sedang sakit, bisa-bisanya ditinggalkan di jalanan ketika hujan deras oleh laki-laki itu? Di mana hati nuraninya? Arkan rasa Reyhan telah kehilangan akal.

"Kak, kau harus segera sembuh ya? Apakah kau tidak rindu untuk memandang wajah tampan adikmu ini, heem? Kalau kau bangun...aku tidak akan lagi berniat menjahili atau menggodamu," kelakar Arkan terkekeh pelan meski nyatanya terasa hambar. Ia tidak benar-benar sedang tertawa bukan? Lebih tepatnya ia sedang menghibur dirinya sendiri?

Hening...

Arkan kembali memeriksa suhu tubuh Neira. Secara sederhana dengan mendaratkan telapak tangannya pada kening Neira.

Ia bersyukur setelah dirasakannya demam Neira sedikit turun, Arkan memutuskan untuk tidur. Tidak mampu lagi menahan kantuk pada kedua kelopak mata yang kian terasa berat untuk dipaksa tetap terjaga.

Matanya berair karena beberapa kali menguap. Ia terduduk di kursi dekat ranjang Neira, lalu menyandarkan kepala pada lengan tangan kirinya yang berada di sisi ranjang kakaknya. Tangan kanannya menggenggam telapak tangan Neira yang terbebas dari selang infus.

"Semoga semua segera membaik," Harapan Arkan, kakaknya segera pulih, dan segala masalahnya tuntas. Lalu ia memejamkan mata, mulai menjemput mimpinya.

*****

"Hei kawan! Ya ampun dengarkan aku...!" seruannya terjeda untuk menarik napas dalam-dalam. Ekspresi wajahnya meyakinkan.

"Aku mempunyai kabar buruk yang dapat mengakibatkan kalian patah hati. Kuharap kabar ini bukan sumber gempa yang membuat hati kalian runtuh seketika," lanjut seorang gadis dengan penuh dramatis kepada kelima sahabatnya.

Mereka memposisikan kursi duduk melingkar. Ya, bergosip adalah hal wajib bagi mereka ketika dosen mata kuliah belum hadir di jam mengajarnya pagi itu.

"Apa yang kau maksud, Renata? Katakanlah dengan jelas?" jawab Keisa tidak sabaran kepada sahabatnya, Renata sang ratu drama.

"Kalian tahu kabar terbaru dokter tampan kita?" pancing Renata masih berbasa-basi.

"Ya tidaklah, kan kau sumber informasinya. Bagaimana kami tahu jika kau terus saja bertele-tele menyampaikan informasinya!" sanggah Acha bersungut sebal.

BERDETAK (Berakhir dengan Takdir) {TAMAT}Where stories live. Discover now