32. Perihal Keresahan

822 204 38
                                    

"Perihal yang mengusik ketenangan menjadi risau yang tak terjelaskan
serupa mencari rinai hujan dalam kesatuan lautan."
*****

Terdengar percikan air dalam sebuah kolam renang. Kepala Reyhan menyembul dari bawah permukaan air yang tidak tenang.

Ia benar-benar butuh mendinginkan kapala setelah pertemuannya dengan Anna. Pertemuan yang pada akhirnya mencapai titik keputusan dengan banyak perdebatan.

Ada rasa menggelitik tak nyaman dalam dada, tetapi ia seakan bersikap tak apa. Berusaha tak sedikit pun berpengaruh terhadapnya dan sudut pandangnya.

Ataukah ia sengaja menutup dan mengaburkan kebenarannya terhadap dirinya sendiri? Hingga benang kusut itu tak mampu terajut untuk membentuk satu kesatuan menjadi sebuah keutuhan?

Ia kembali menyelam dalam-dalam seakan ingin mencapai dasar kolam. Tak pernah ia berpikir sekelumit saja, bahwa hidupnya akan menjadi serumut ini.

Apakah kekacauan semacam ini yang dirasakan orang-orang hingga putus asa dan memilih menyudahi hidupnya? Terlintas pikiran itu dalam benaknya.

Ternyata menjadi dewasa tak seindah pemikirannya saat masih beranjak remaja. Saat hanya cita-cita yang menjadi prioritasnya. Saat hanya ada kawan sepermainan yang menyenangkan. Saat ayahnya tak menuntut banyak hal darinya. Apalagi dengan sebuah ancaman dan kekerasan.

Saat dunia tak ia izinkan untuk turut andil memecah emosionalnya. Ia yang dahulu tak pernah sekali pun menghendaki seseorang untuk mengusik ketenangannya. Lalu sekarang, tanpa pintanya dunia Reyhan tak lagi dalam kendalinya.

Ia berenang kembali untuk mencapai tepian kolam. Beranjak dari sana lalu mengambil handuk yang ada di atas kursi santainya. Ia mengeringkan bahu telanjangnya. Dirasanya mungkin semangkuk sup bisa menghangatkan tubuhnya, di waktu menjelang senja itu.

Maka di sinilah ia saat ini. Sesaat setelah membersihkan dan merapikan diri. Reyhan berada di restoran sebuah hotel, tempat yang akan ia gunakan untuk bermalam nanti.

Duduk sendiri pada sisi sebelah kiri berdekatan dengan jendela. Udara terasa berambat di permukaan kulitnya. Senja hampir meraih gulita.

"Ini pesanan, Anda...Tuan," Reyhan yang sedang tercenung, terperanjat lalu mengangguk samar, sekilas hanya melirik ponselnya.

Pramusaji itu hampir meletakkan semua dengan hati-hati beberapa hidangan panas. Di antaranya: sup, iga bakar, sate dan sedikit nasi serta segelas cokelat panas.

Bukan berarti ia akan memakan semuanya. Hanya saja itu yang terlintas dalam benaknya, dibanding banyak pertimbangan ketika menentukan untuk makan bukan?

Menikmati aneka makanan bukanlah prioritasnya saat ini. Perutnya butuh untuk di isi asupan gizi. Itu saja. Belakangan ia mudah lapar. Mungkinkah karena ia terlalu banyak berpikir?

Tidak. Ini tidak boleh terjadi.

*****

Malam ketujuh, setelah berlalu enam pagi ini yang terlewati.

"Siapa sebenarnya orang ini...terus saja menghubungiku berulang kali." Neira menggerutu mendapati nomor tidak dikenal lagi-lagi menyasar pada panggilan masuknya.

Tidak mungkin mahasiswanya bukan? Lagi pula ia sudah menerangkan kepada mereka untuk tidak menghubungi jika tidak mendesak. Agar mengirim pesan singkat dan memperkenalkan diri sebelum menghubunginya baik via panggilan maupun pesan.

"Halo, apa maumu? Jika tidak penting jangan mengganggu!" hardik Neira memutus panggilan sepihak. Ia merasa kesal karena setiap kali mengangkat panggilan itu, tidak ada tanggapan suara dari seseorang di seberang sana.

BERDETAK (Berakhir dengan Takdir) {TAMAT}Donde viven las historias. Descúbrelo ahora