10. Bersandiwara?

1.3K 355 202
                                    

"Tidak ada sikap seolah kuat setegar baja yang lebih menyakitkan yakni menipu diri sendiri, seperti tersenyum paksa sedang hati menjerit terluka.

Berpura-pura bahagia itu terlalu banyak menguras tenaga, dan banyak membuang tawa yang sempat tercipta berakhir sia-sia"

*****

"Ya ampun...! Ada apa dengan penampilanmu, Nak?" seru Ibu Raniya tak percaya setelah meneliti tubuh anak lelakinya dari jarak dekat. Reyhan yang tadi menatap tajam Neira seketika mengedipkan mata dan sedetik kemudian menatap lembut sang ibu.

Penampilan Reyhan terlihat berantakan. Bajunya tidak rapi. Wajahnya tidak terawat, dengan kumis dan jambang halusnya tumbuh seperti seseorang yang baru saja keluar dari penjara. Tidak sedikitpun mencontohkan seorang pengantin baru yang pulang dari bulan madu pada umumnya.

"Apakah Ibu tidak ingin lebih dahulu memelukku?" ucap Reyhan mengalihkan pembicaraan. Ibu Raniya tersenyum lalu memeluk anak lelaki sulungnya itu, setelahnya Reyhan mengecup punggung tangannya.

"Apakah seperti ini...seseorang yang baru menghabiskan waktu untuk berbulan madu?" tuntut Ibu Raniya sembari meneliti Reyhan lalu pandangannya beralih menatap Neira.

Reyhan yang menghampiri dan mencium punggung tangan sang ayah, lalu terdiam . Mencerna kalimat dari sang ibu. Sedangkan Neira berdiri kaku. Mati kutu. Sepertinya kebohongannya akan terbongkar, pikir Neira. Ia merutuki kebodohannya dalam hati.

"Bulan madu?" ulang Reyhan, sesaat setelah paham suatu hal ia segera mengubah ekspresi wajahnya. Tak lagi penuh tanda tanya di sana.

"Iya, Kak. Kalian baru pulang dari bulan madukan?" jawab Arkan dengan cepat menyela. Sadar akan situasi yang terjadi. Tepatnya ia khawatir tentang kebohongan kakaknya, Neira yang bisa saja berakhir fatal.

Reyhan secepat kilat menatap datar Neira tetapi penuh arti. Ia telah paham dengan situasi, dan arah pembicaraan itu tertuju. Ya, kebohongan.

"Ah, iya. Aku terlalu lelah, Bu dengan perjalanan panjang itu," sanggah Reyhan menatap sang Ibu.

"Ck, ck...kalau lelah kenapa kau harus pergi ke Rumah Sakit, setelah tiba? Bukannya langsung pulang!" tuntut Ayah Lucas dengan tegas. Nada suaranya terdengar sarkatis.

Reyhan kembali dibuat bingung. Lalu sekilas menatap tajam Neira, seolah berkata 'apalagi ini?' Ia sudah sangat lelah. Tubuhnya sudah sangat menuntut untuk segera diistirahatkan.

Neira yang kembali mendapat tatapan itu, seketika ingin rasanya mencakar wajah dinginnya. Namun, ia tersadar akan satu hal. Bukan waktu yang tepat. Justru sekarang nasibnya seolah sedang berada di ujung tanduk.

"Ayah, ada hal mendesak yang memang harus diurusnya di Rumah Sakit" terang Neira mencoba setenang mungkin kepada sang Ayah Mertua. Meski sejujurnya kecemasan menyergap kepercayaan dirinya.

"Iya, Ayah," tambah Reyhan atas jawaban Neira yang tertuju untuk ayahnya. Sedangkan sang ayah hanya bergeming, mendengar jawaban itu.

Pandangan mata Reyhan sekilas menatap dingin Neira. Simbiosis mutualisme! tandasnya dalam hati. Neira sekilas membalas tatapan itu dengan tajam, lalu berkedip menetralkan ketajaman pada iris matanya.

Tidak ada yang menyadari interasi keduanya dengan tatapan penuh arti itu, kecuali Arkan yang sedari tadi menahan geramnya kepada Reyhan. Ingin rasanya menyarangkan tinju mentahnya di wajah dingin dan arogan itu.

"Ya sudah, kalian pasti kelelahan, sebaiknya segera beristirahat, Nak..!" perintah sang Ibu penuh pengertian menatap Reyhan dan Neira bergantian. Namun, sebelum keduanya menjawab dengan cepat sang ibu kembali bertanya ketika mengingat suatu hal.

BERDETAK (Berakhir dengan Takdir) {TAMAT}Where stories live. Discover now