14. Masa Lalu

1.2K 300 110
                                    

"Masa lalu terkadang menjadi bayang-bayang pekat
yang dengan hebatnya bercokol erat di benak kenangan
Sedangkan kesadaran dengan keras ingin mengenyahkan
Agar dapat melukis kembali kisah yang lebih menyenangkan."


*****

Sepasang bola mata itu menatap tajam pada satu titik temu. Ya, Arkan masih menatap Reyhan lekat dengan kedua iris mata tajam nan pekat.

"Arkan," ujar Neira bermakna peringatan untuknya agar tidak bertindak lebih sembari menyentuh lengan sang adik. Rupanya Neira menyadari perubahan raut muka adiknya ketika melihat Reyhan.

Namun, justru terlihat Arkan menghampiri Reyhan yang sudah berjarak lima langkah dengan mereka.

"Hai," sapa Arkan. Ralat, lebih tepatnya kata singkat yang terdengar tak bersahabat. Lelaki itu sudah berhadapan dengan Reyhan, sambil mengulurkan lengan untuk berjabat tangan.

Reyhan bergeming, tetapi sepersekian detik kemudian ia menerima jabat tangan dari Arkan.

Sontak dirasakan sebuah cengkeraman erat telah mendarat di telapak tangan Reyhan. Membuat buku-buku jemarinya memerah dan mungkin menimbulkan sakit. Belum sempat Reyhan merespon balik genggaman erat itu dengan cepat telah dilepaskan oleh Arkan.

Seketika jemari terbuka Reyhan mengepal erat. Emosinya mulai tersulut menyadari ketidaksukaan dari sikap Arkan.

Ditatapnya tajam Arkan, sedang yang ditatap justru memperlihatkan ekspresi yang tak kalah menantang seolah siap berperang.

Lalu terdengar...

"Wah, kalian sudah sejak tadi datang, Nak?" Tampak kedua orangtua mereka muncul, sedang menuruni ujung anak tangga tanpa tahu situasi yang tengah terjadi.

Perhatian ketiga orang itu teralihkan menatap pemilik suara yang tak lain milik Bunda Nana yang tengah tersenyum ramah dengan mata berbinar mendapati sang anak dan menantunya tiba.

"Ayah, Bunda." Neira memandang berbinar lalu menghampiri mereka. Mencium punggung tangan dan memeluk bergantian kedua orang yang sudah dirindukannya itu.

"Kau baik-baik sajakan, Sayang?" ucap Bunda Nana setelah melerai pelukannya.

Jika saja Bunda tahu... Ujar batin Neira lirih sendu. Ruang ingatannya secepat kilat memutar keganjilan-keganjilan selama kurun waktu satu bulan lebih usia pernikahan.

Ditinggalkan Reyhan di jalanan dan sebuah kejadian penamparan itu... masih terasa sangat menyesakkan rongga dada hanya dengan mengingatnya saja.

Neira menarik napas dalam. Ia ingin berkata tidak "Baik-baik saja, Bunda." Ya, nyatanya hanya itu yang sementara mampu terucap di ujung bibir manisnya.

Bunda Nana tersenyum sembari mengelus lengan Neira. Sedangkan Ayah Daniel yang berdiri di dekatnya hanya menganggukan kepala lega.

Disituasi lain Reyhan menguasai diri, menatap tajam Arkan sebelum menghampiri dan mencium punggung tangan kedua mertuanya itu.

Arkan tersenyum sinis memperhatikan Reyhan.

Jika saja tidak ada Ayah dan Bunda mungkin wajah dingin dan arogannya itu sudah kulukis indah dengan rona berwarna merah. Arkan bersungut dalam hati.

Sekilas kedua bola mata tajam Reyhan menelisik ke arah Arkan. Ia tak menyangkanya.

Ternyata pemuda ingusan itu cukup punya nyali untuk bermain api denganku? Sebuah seringaian meremehkan tercetak di bibirnya.

"Mari...Nak Reyhan duduk," ucap Bunda Nana dengan ramah setelah menuntun mereka ke ruang keluarga, lalu mengambil tempat untuk duduk.

Reyhan menjawab dengan mengangguk singkat. Mereka berlima telah duduk dengan santainya.

BERDETAK (Berakhir dengan Takdir) {TAMAT}Kde žijí příběhy. Začni objevovat