35. Mengurai Dalam Sepi

1.1K 200 71
                                    

"Luka hati membuatnya hilang kendali. Sering kali ia mengurai duka seorang diri. Dalam sepi, dalam kemelut rapuhnya keteguhan hati."
***


Malam itu Reyhan duduk bersandar di sofa kamar hotelnya. Di meja tampak tersedia secangkir cokelat panas, mengepulkan uap yang menguarkan aroma khas.

Entahlah belakangan ia sering menyesapnya. Dahulu Neira yang terlihat sering meminum di hadapannya, ketika mereka sarapan bersama.

Mengingat hal itu Reyhan memijat pelipisnya. Setelah sore hari ia berenang lama, lalu diakhiri dengan menikmati beberapa macam hidangan hangat. Namun, hingga kini tidak membuat suasana hatinya meningkat.

Hampir seharian ia merenungkan banyak hal. Kembali terulang untuk kesekian kalinya terbayang. Sekarang kepalanya terasa berat. Perasaan tidak nyaman kembali datang. Sesak di dadanya tak urung berkurang.

Ia beranjak lalu membuka laci, mencari barang yang sangat ia butuhkan saat ini. Setiap kali risau hati menggelak ini terjadi. Ia mencari sejenis obat yang bisa mengurangi kacaunya emosi.

Benar. Ia butuh bantuan untuk dapat menyeimbangkan hormon dalam dirinya, dengan mengonsumsi antidepresan.

"Sial, habis!" Reyhan bersuara. Ternyata sudah tidak tersedia obat yang terakhir kali diberikan Aksa, untuknya. Ya, saat Aksa terakhir kali datang merawat lukanya.

Ia segera melakukan panggilan. Tidak lama berselang panggilan itu, diterima oleh seseorang di seberang sana.

"Aksa, tolong kemari. Aku ada di hotel yang searah dengan apartemenku . Bawakan aku obat seperti biasanya."

Reyhan terdengar memohon tidak seperti biasanya yang sesukanya, ketika menghubungi sahabatnya itu. Ia sadar seharusnya Aksa mendapatkan perlakuan yang layak darinya.

"Astaga, Rey! Obatmu sudah habis? Seberapa sering kau mengonsumsinya belakang ini? Dasar bodoh! Kau tahu jelas bagaimana efek sampingnya, tetapi masih saja mengabaikannya. Lelaki bodoh satu ini. Kita besok harus kembali memeriksakan dirimu. Tetap di sana. Tunggu aku."

Nyatanya niat baiknya meminta, masih membuat Aksa mengomelinya. Reyhan tersenyum samar setelah mendengar Aksa mencecarnya seperti biasa, jika dirinya mengabaikan aturannya.

Reyhan sadar sekarang hanya Aksa, satu-satunya orang yang berada di sisinya. Menyadari kembali hal itu membuatnya menghela napas berat beberapa saat. Ia bangkit mengambil langkah lalu duduk di sisi ranjang.

Bahkan keluarganya tak lagi mempedulikannya. Tatapan terluka dan pengabaian dari ibunya membuatnya tidak baik-baik saja.

"Mungkinkah dengan hukuman ini aku dapat menebus dosaku?" Pandangan matanya terasa memburam oleh air yang mendesak keluar.

Reyhan benci menyadari bahwa dirinya kini sendiri. Tak berarti untuk siapa-siapa. Ia bukan apa-apa. Keluarga juga tak lagi ada di sisinya.

Tak lagi bisa menjadi apa yang diharapkannya dengan kondisinya yang sekarang. Di sini, di tempat ini ia seorang diri. Mungkinkah ada yang peduli jika bahkan ia mati? Pikiran itu terlintas di kepalanya. Ia mengusap basah di kedua ruang mata.

Beberapa saat kemudian pikirannya teralihkan. Mengingat kembali semua yang dikatakan Arra. Kenyataan yang seharian itu Reyhan renungkan.

Semakin Reyhan pikirkan menjadi runyam. Menemukan banyak titik kekeliruan. Ia harus melakukan sesuatu untuk membuktikan semua dugaannya. Ia mengambil ponsel dari saku celananya dan melakukan sebuah panggilan.

"Halo, Kak, ada apa?"

Reyhan berdeham sebelum menjawabnya. "Dihari pernikahanku, apakah ada seseorang yang menghubungimu, maupun Elladya?"

BERDETAK (Berakhir dengan Takdir) {TAMAT}Where stories live. Discover now