37. KITA SAUDARA [PRIVATE]

322K 28.8K 13.3K
                                    

37. KITA SAUDARA

"Kenapa kamu pulang sama dia?" suara itu mencekat Moza. Keadaan yang tadi telah reda kini kembali sengit karena Ayahnya, Afon memandang Chiko dengan tatapan menusuk. "Dia yang buat kamu sakit hati itu kan?"

Chiko mengeratkan genggaman tangannya pada Moza. "Om, saya ke sini mau nganterin Moza." Chiko mencoba beramah-tamah.

"Iya saya tau! Gak usah dijelasin!" Afon kehilangan kendali. "Kamu keluar. Tunggu saya di luar."

Chiko dan Moza saling pandang namun Chiko meyakinkan Moza lewat tatapannya bahwa Chiko akan baik-baik saja. Setelah Chiko keluar. Moza memandang Ayahnya namun Afon hanya geleng-geleng kepala melihat penampilan Moza.

"Ayah gak marah kalau kamu ngehabisin uang ATM Ayah atau pake mobil rumah. Kamu boleh ngelakuin itu semua, Moza. Tapi yang bikin Ayah kecewa kenapa kamu nggak pernah bilang tentang Mama kamu sama Nency? Kenapa Ayah harus denger dari orang lain?" Afon menahan rasa berkecamuk. "Ayah pikir lama-lama mereka bisa nerima kamu. Ternyata mereka gak bisa sama sekali nerima kamu."

"Maafin Ayah kalau Ayah terlalu lalai sama kamu. Kamu gak perlu khawatir. Nanti Ayah ke sekolah untuk tanggung jawab masalah ruangan yang terbakar itu. Maafin Ayah, Moza." Moza pikir Afon akan marah besar padanya tapi kalau seperti ini malah membuat Moza makin takut.

"Gimana nasib Nency sama Mama nanti?" tanya Moza.

"Ayah gak bisa sama Mama kamu lagi tapi Ayah tetep bakal ngurus Nency sampe dia tamat sekolah." Afon terdiam. "Ayah juga sayang sama Nency meskipun dia sering nyakitin kamu, meskipun dia bandel dan banyak tingkah. Ayah juga gak mau kehilangan dia."

Moza tersenyum tipis. "Kamu cari Nency ke atas. Coba ngomong sama dia. Ayah mau ngomong sama... siapa namanya? Yang di depan itu?"

"Chiko," jawab Moza malu-malu. Dari caranya Moza menyebut namanya saja Afon tahu bahwa Moza sangat menyukainya.

Afon tak lagi berbicara dan keluar meninggalkan Moza yang harus berbicara dengan Nency, adik tirinya.

****

Moza membuka pintu kamar Nency. Derit kayu bersentuhan dengan ubin. Gelap seketika menyelimuti. Gorden di kamarnya pun sengaja Nency tutup rapat. Perempuan dengan seragam putih abu-abu itu sedang duduk di pojok dinding dengan pandangan berkabut. Tatapannya kosong. Kedua kakinya tertekuk, seperti kehilangan arah tujuan. Perempuan itu tampak lemas dengan kenyataan.

"Nency?"

"Ngapain lo ke sini?!" Nency bertanya dengan nada benci. Sorot matanya menajam. "Mau cari perhatian lagi lo, hah?!"

Moza menutup pintu dengan tenang. "Gue tau lo kaget atau marah tapi—"

"DIEM LO! GAK USAH BANYAK OMONG!" Nency tiba-tiba berteriak membuat Moza mundur.

"Kenapa sih lo dateng ke rumah gue?! Kenapa lo ngehancurin semuanya?! Udah puas lo sekarang ngambil apa yang gue punya? Apa kurang puas?!"

"Nency,"

"Lo itu penghanfur! Semuanya bahkan lo ambil! Dasar gak pernah sadar diri!"

"Lo pikir lo siapa Moza sampe berani-beraninya ngerusak kebahagiaan gue?" tanya Nency, setetes air matanya jatuh ke pipi. "Lo dengan gak berdosa dateng ke rumah gue! Papa gue lebih milih sama lo! Ternyata selama ini gue dibohongin sama orangtua gue sendiri! Mama gue? Sekarang udah diusir! Terus nasib gue gimana? Gue sama siapa Moza?! Gue gak punya siapa-siapa." suara Nency parau. Perempuan itu memeluk tubuhnya sendiri, semakin meringkuk di pojok dinding kamarnya.

"Chiko, Jaka, gelar putri sekolah, sampe temen-temen gue pun lo rebut, Za." Nency tampak frustrasi. "Apa lagi yang mau lo ambil dari gue?"

"Jaka?" Moza bertanya bingung.

MOZACHIKOOnde histórias criam vida. Descubra agora