lima

148K 7.8K 302
                                    

Bryant tampak tidak setuju. "Pernikahan bukan hal yang bisa diputuskan begitu saja."

"Kalau kamu tahu, kenapa tidak kamu lakukan lebih awal? Lebih baik keluarga kita malu karena pernikahanmu dibatalkan daripada kita merusak masa depan orang lain, Bryant!" Lina terlihat frustasi sambil mengusap keningnya yang berkeringat, "Seharusnya kamu diskusikan masalah besar ini dengan kami sebelum mengambil keputusan sendiri!"

"Bukankah dengan permintaan Mom tadi, Mom sedang mengacaukan masa depan kami?"

"Mom tidak mengacau atau merusak masa depan kalian berdua, namun memperbaiki kerusakan itu agar lebih baik lagi. Seperti nasi menjadi bubur yang kemudian ditambah suwiran daging ayam dan bawang goreng," ketus Lina. Ia meminta bantuan Rudi melalui tatapan mata, namun Rudi hanya tertawa tanpa suara.

"Terdengar sangat lezat, Nyonya Besar," puji Tony di tengah ketegangan membuat Rudi tidak tahan untuk tidak menyemburkan tawanya.

"Kamu benar-benar bisa menyelamatkan suasana, Tony. Kamu tidak pernah mengecewakan saya," puji Rudi.

"Mom harap kamu dan Wanda bisa mendapatkan solusi yang lebih baik jika memang benar kalian tidak setuju untuk merealisasikan pernikahan yang Mom anjurkan. Mom harap, keputusan kalian tidak akan merugikan satu pihak pun."

"Tentu, Mom. Kami akan menyelesaikan masalah kami tanpa mengecewakan Mom dan Dad," jawab Bryant. Ia meraih tangan Lina untuk digenggamnya lembut.

"Tidak perlu pikirkan kami, pikirkan kalian berdua saja dan utamakan Wanda," Rudi memperingatkan Bryant. "Saat ini, yang berkemungkinan rugi lebih banyak adalah Wanda."

"Maaf sudah menimbulkan masalah untuk tante dan om," kata Wanda.

"Masalah terbesar dalam hidup tante adalah tante terlalu peka untuk segala hal yang terjadi di sekitar tante," Lina terlihat santai saat mengucapkan kalimat itu, dan diakhiri dengan tawa ringan saat menerima usapan dan ciuman pada kepala dari Rudi.

"Apa pendapatmu tentang solusi dari ibu saya tadi?" tanya Bryant setelah kedua orangtuanya pamit pulang.

Mereka sudah duduk diam kurang lebih sepuluh menit sibuk dengan pikiran masing-masing. Otak mereka bekerja lebih keras dari biasanya untuk mencari solusi agar mereka tidak perlu menikah seperti apa yang telah disarankan.

Bagi Wanda pernikahan belum pernah terbesit dalam benaknya barang sedetik pun. Saat ini ia lebih fokus pada karir daripada percintaan. Baginya terlalu sulit mengurus seorang pria ketika ia bahkan tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Apalagi, ketika ia harus bekerja, ia juga harus mengurus rumah tangga, mengurus suami yang pulang bekerja, lalu memasak untuk mereka berdua. Masalah itu memang bisa selesai dengan asisten rumah tangga, jika sang suami mengizinkan. Dan jarang sekali ada pria yang berpikiran seterbuka itu.

"Lebih baik kita bahas masalah ini di tempat lain tanpa—" Wanda menghentikan kalimatnya sambil melirik sekilas pada Tony yang berada di samping Bryant.

Tadinya Bryant ingin langsung menolak keinginan Wanda, namun dipikir sekali lagi, lebih baik hal ini dibahas tanpa kehadiran Tony. "Tentu," sahut Bryant sambil mengulurkan tangannya pada Wanda, membuat Wanda kebingungan. Kedua alisnya menyatu.

"Ponselmu." Bryant mengulurkan tangannya sekali lagi, sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Untuk apa?"

"Supaya Anda bisa menghubungi saya untuk memberi tahu alamat dan waktu temu," jelas Bryant kepada Wanda. "Tidak mungkin kita berbicara saat ini juga, bukan? Terlalu cepat, otak kita belum bisa memikirkan solusi yang tepat."

"Oh," Wanda terkekeh datar, "ini."

Hanya dalam sepersekian detik ponsel Wanda berada di tangan Bryant. Sebelum Bryant mengembalikan ponselnya, Bryant berkata, "Hubungi saya segera mungkin."

Weddings' SmugglerWhere stories live. Discover now