lima belas

59.4K 5.1K 75
                                    

Bryant mendapat informasi dari Tony sesaat setelah ia selesai makan siang bersama klien yang menawarkan gedung kosong yang dapat dijadikannya sebagai ATM Center. Kilatan blitz kamera terus menghujani punggungnya namun tidak ia hiraukan. Ia harus tahu keadaan Wanda terlebih dulu, bukan secara fisik tapi psikis. Ini pengalaman pertama Wanda dan mungkin mengagetkan.

Saat pernikahan mereka, Bryant berhasil menolak dan menjauhi segala wartawan yang ingin terang-terangan maupun diam-diam meliput pestanya sehingga masih bisa dibilang aman, terkendali, dan tertutup.

Bryant berjalan menuju meja resepsionis, menanyakan keberadaan Wanda.

"Maaf, Pak. Kami tidak bisa memberi informasi apa pun," tolaknya.

"Saya suami Wanda, tolong beritahu saya lantai di mana is—," kalimatnya terhenti. Bryant melambai-lambaikan telapak tangannya, memberi tanda bahwa ia tidak jadi meminta bantuan resepsionis yang tentunya tidak akan memberi tahu informasi tentang Wanda, apalagi di situasi seperti ini.

Bryant mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Wanda. Ia membiarkan Tony dan beberapa pengawalnya menutup gorden pada dinding kaca. "Lantai berapa?" tanya Bryant langsung pada intinya saat Wanda menerima panggilannya. "Aku yang naik," kata Bryant lagi. "Iya, baiklah, kamu yang turun."

Bryant memutuskan sambungan telepon antara dirinya dan Wanda dengan perasaan yang campur aduk antara kesal dan kecewa. Apalagi yang ingin dirahasiakan Wanda darinya? Mengapa pekerjaan seperti ini harus ditutup-tutupi? Untuk apa? Bahkan ketika semua orang di luar sana sudah tahu dari berita yang menyebar?

Setelah menunggu beberapa menit, Wanda muncul dari pintu lift yang terbuka kemudian berhambur masuk ke dalam pelukan Bryant. Bryant masih menerimanya dengan sepenuh hati meskipun hatinya kacau, tidak lupa menepuk punggung Wanda untuk menenangkannya.

"Maaf," kata Wanda.

"Untuk apa?" Bryant ingin jawaban yang sebenarnya.

"Karena tidak memberitahumu terlebih dulu sehingga kamu harus tahu dari media," kata Wanda. "Aku tidak pernah membayangkan jika media bisa setertarik ini denganku."

Bryant melepas pelukan Wanda, lalu beralih menggenggam tangan Wanda erat. Bryant memberi tanda kepada Tony untuk menutupi mereka dengan beberapa pengawal, sedangkan pengawal lainnya akan membuka jalan agar mereka bisa lewat menuju mobil.

Saat pintu kantor terbuka, blitz kamera kembali menyambut mereka. Tony dan pengawal begitu sigap menghadapi keadaan, sedangkan Bryant melindungi wajah Wanda dengan lengannya. Mereka masuk ke dalam mobil yang jendelanya langsung ditutup Bryant dengan gorden.

"Mau ke mana kita? Kenapa kita pergi?" tanya Wanda panik. Ia menatap Bryant yang tengah menatap ke depan, tidak melihatnya sama sekali bahkan saat menjawab. "Kantor," jawab Bryant singkat.

"Masih ada yang harus kuselesaikan," kata Wanda. Ia segera mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi tim. "Aku tidak bisa pergi begitu saja. Hari ini deadlinenya, karena kami sedang kejar jadwal terbit."

"Apa yang harus kamu kerjakan di situasi seperti ini?" tanya Bryant, kali ini ia menatap Wanda namun dengan tatapan tajam. Nada bicaranya juga terdengar menggeram menahan marah, membuat Wanda sedikit ketakutan karena ini adalah sisi baru yang belum pernah ia lihat dari Bryant sebelumnya.

Bryant melunak, melihat bola mata Wanda yang bergerak gelisah. Ia meraih telapak tangan Wanda lalu menggenggamnya erat-erat. "Jika pekerjaanmu bisa dibawa, aku akan minta orang untuk menjemput pekerjaanmu."

Wanda menganggukkan kepalanya patuh kemudian balas menggenggam tangan Bryant erat. Ia harus mendengar saran Bryant kali ini, lebih aman dan nyaman bersama Bryant. Ia seperti menemukan tempat berlindung. Ia benar-benar syok tadi. Apa seterkenal itu dirinya hingga banyak sekali wartawan yang mengambil gambarnya?

Weddings' SmugglerWhere stories live. Discover now