dua puluh

60.6K 4.8K 115
                                    

Harapan Wanda kembali melambung tinggi membuatnya kembali menahan senyum yang ingin terbit karena bahagia.

"Bisa kamu tutup matamu dulu?" kata Bryant.

Wanda mengangguk patuh.

Bryant menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Wanda, memastikan bahwa Wanda tidak bisa melihat apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Setelah itu, Bryant berjalan menuju meja kerja dengan langkah seringan kapas sambil sesekali melihat ke belakang, memastikan Wanda tidak mengintip.

Bryant membuka laci pelan-pelan dan menjulurkan tangannya dalam-dalam namun malah meraih angin. Bryant menarik laci itu lagi hingga paling akhir, kemudian mengobrak-abrik segala isi di dalamnya namun malah tidak menemukan apa-apa. Bryant beralih pada laci-laci meja lainnya, tetap nihil. Cincin yang sudah ia siapkan, lenyap begitu saja tidak berjejak. Ia tidak memindahkan cincin itu ke tempat lain.

Seakan takut keliru, Bryant berjalan mendekati nakas di samping tempat tidur untuk mencari cincinnya juga. Tapi tetap saja nihil. Begitu juga dengan tas kerja serta saku jas serta celana yang ia kenakan saat ini. Ke mana perginya cincin itu?

Wanda yang masih menutup mata, perlahan-lahan buka suara, "Apa yang kamu cari? Kenapa berisik sekali?"

"Tidak. Tidak ada apa-apa."

"Aku boleh buka mataku sekarang? Aku akan bantu kamu cari."

"Jangan!" tolak Bryant cepat. "Tetap tutup matamu erat-erat."

Lima belas menit berlalu begitu saja. Kamar juga sudah tidak serapi sebelumnya. Bryant juga mulai berkeringat meskipun ada di dalam ruangan yang sejuk. Apalagi Wanda, ia mulai berkunang-kunang dan kehilangan keseimbangan. "Apa sudah? Kepalaku mulai pusing," kata Wanda.

Bryant melupakan segalanya kemudian berjalan cepat mendekati Wanda yang sudah oleng. Ia meraih Wanda ke dalam pelukannya. "Sudah. Kamu boleh buka matamu sekarang."

Wanda membuka dan menutup matanya berulang-ulang kali hingga terbiasa dengan cahaya yang masuk ke mata. Ia dikejutkan dengan Bryant yang basah dengan keringat. "Ada apa?"

Bryant memilih untuk jujur. Ia tidak ingin Wanda marah lagi. "Cincin yang kusiapkan tidak tahu hilang ke mana," jawab Bryant. "Sebenarnya aku ingin melamarmu, saat kita kencan di Kafe BlackBean."

Wanda mendengarkan dengan seksama. "Sudah kamu cari dengan teliti?" tanya Wanda penuh curiga.

"Sudah. Kamar kita saja sudah berantakan. Di laci tempat terakhir aku menaruhnya juga tidak ada," jelas Bryant sambil membawa Wanda ke balik meja kerja kemudian menarik laci meja kerja hingga ujung. Hanya ada beberapa buku jurnal, selebihnya kosong.

Saat itu juga Wanda teringat sesuatu. Ia tersenyum tipis dan canggung pada Bryant. "Aku baru ingat." Wanda meraih tasnya kemudian mengeluarkan kotak cincin yang dicari Bryant sedari tadi.

"Bagaimana bisa ada denganmu?" tanya Bryant. Ia tidak menyangka cincin yang disembunyikannya di bagian terdalam laci bisa ada di tangan Wanda.

"Aku menemukannya saat ingin menaruh bukuku di lacimu karena laciku sudah penuh," jawab Wanda. Ia berusaha menjaga ekspresi dan nada bicaranya agar terdengar biasa saja.

"Lalu?"

"Aku juga melihatmu membawa cincin itu saat kita makan malam."

"Dan kamu takut jika cincin ini akan kuberikan pada wanita lain? Hingga kamu mendiamiku selama ini?" tebak Bryant, senyum jahilnya terbit lagi.

"Tentu tidak," bantah Wanda,"aku bukan wanita yang berpikir sesempit itu."

Padahal nyatanya, iya. Namun ia tahu semua itu keliru saat dirinya melihat nama Bryant terukir di lingkaran dalam cincinnya, dan namanya di lingkaran dalam cincin Bryant. Yang kemudian berubah menjadi kesal setelah seminggu cincin itu ada di dalam laci, tidak dikeluarkan Bryant untuk diberikan kepadanya. Dan secara tidak sadar, Wanda memasukkan cincin itu ke dalam tasnya tadi pagi, mungkin karena buru-buru ke kantor penerbit untuk mengumpulkan dan mendiskusikan naskah terakhirnya.

Weddings' SmugglerWhere stories live. Discover now