tujuh belas

56.7K 5.3K 138
                                    

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Bryant sambil beringsut mendekati Wanda yang sedang memangku laptop, setelah masuk ke dalam selimut untuk menghalau dingin.

Wanda tidak menjawab.

Ada yang aneh dengan Wanda akhir-akhir ini. Wanda terlalu sering mendiaminya. Dan Bryant sudah tidak tahan! Tentu saja bukan dalam hal negatif.

Apa salahnya? Ia rasa, dirinya tidak berhak untuk didiami seperti ini, ketika ia sendiri bahkan tidak paham. Bryant mendekat beberapa sentimeter lagi hingga Wanda menatapnya dengan pandangan tajam seolah mengatakan bahwa ia tidak boleh mendekat satu milimeter lagi atau ia akan mati. Bryant menghela napas, begitu juga Wanda.

Tapi ada sedikit harapan yang muncul ketika Wanda menutup layar laptopnya. Kemudian memutar kepala menghadapnya, meskipun dengan dua tangan yang mendekap di depan dada.

"Ajak aku kencan."

Bryant mengangkat sebelah alisnya. Kencan? Apa mereka akan kencan dengan keadaan diam seribu bahasa seperti ini? Tapi Bryant menelan dalam-dalam pemikirannya itu. Ia tersenyum menatap Wanda lalu mengangguk antusias. "Tentu. Kamu mau ke mana dan jam berapa? Aku akan lihat jadwalku."

Bryant meraih ponsel dari atas nakas kemudian menyalakannya.

Wanda semakin berang. Bukankah sudah cukup saat Bryant tidak menjawab pernyataan cintanya? Sekarang, ingin kencan juga harus lihat jadwal dulu? Dasar pria payah! Amarah kembali mendidih dalam hati dan otak, siap dimuntahkan. Namun Wanda tetap berusaha tenang. Lebih baik ia diam daripada marah tidak jelas.

Wanda kembali membuka lipatan laptopnya, membiarkan Bryant sibuk dengan ponselnya. Memangnya hanya Bryant saja yang sibuk? Dirinya juga sibuk, lebih sibuk malah.

"Mau jam berapa?" tanya Bryant ulang sambil mengulir layar ponselnya yang sudah menampilkan jadwalnya sepanjang hari esok. "Aku kosong jam 12, jam 3, dan jam 5," tambah Bryant masih sambil mengulir layar ponsel, memastikan kembali bahwa informasi yang ia ungkapkan ke Wanda sudahlah tepat. Bagaimanapun ia tidak boleh keliru agar mereka dapat berkencan dengan tenang, tidak dikejar-kejar jadwal rapat. Atau seharusnya ia mengajak Wanda kencan setelah pulang? Bukannya kencan di malam hari lebih romantis?

Wanda semakin cemberut, meskipun ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak cemberut. Ia masih merasa tidak berhak untuk mengatur-atur Bryant, tidak peduli jika mereka sudah tidak mengungkit-ungkit lagi perjanjian mereka. Hingga Bryant mengungkapkan sendiri rasa cintanya pada Wanda dalam bentuk kata-kata, mereka tetaplah pasangan yang terikat perjanjian.

"Hei," panggil Bryant sambil mengusap pipi Wanda. "Ada apa dengan dirimu sebenarnya? Kamu sudah diami aku hampir satu minggu!"

Wanda masih diam, meskipun tangannya tetap bergerak mengetik dengan sembarang. Benar-benar sembarangan karena ia sendiri juga tidak tahu apa yang jari-jari nakalnya ketik. Mungkin xhsjshxajakaudndbye?

"Kamu sibuk? Kamu kehabisan ide? Lagi mumet? Ada yang bisa kubantu?" Bryant menanyakan itu semua secara beruntun. Karena pada akhirnya Wanda sama sekali tidak menjawab, Bryant memilih untuk berbaring membelakangi Wanda. Mungkin Wanda membutuhkan waktu sendiri untuk mencari ide bagi novelnya, karena dari yang ia lihat, Wanda terus mengetik namun terus menghapus saat ia mengajak Wanda bicara. Lebih baik ia tidak mengganggunya lagi. Yang penting mereka akan berkencan besok.

Apa ia harus menjemput Wanda? Atau membiarkan mereka berdua berangkat masing-masing untuk bertemu di tempat tujuan? Bryant membuka mulutnya lagi, "Mau jam berapa?"

Wanda kembali menghela napas, namun lebih pelan. "Jam tiga."

"Baiklah, akan kujemput. Kamu tunggu di rumah," kata Bryant. Ia membalikkan tubuh kemudian mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk mengusap pipi Wanda yang langsung disambut istrinya dengan hangat, dilihat dari respon Wanda yang seperti kucing.

Weddings' SmugglerWhere stories live. Discover now