Greenie Hyungnim!

3.3K 343 8
                                    

Ada begitu banyak hal yang bisa disyukuri. Mulai dari setiap hembusan napas hingga orang-orang terkasih yang ada di sekitarmu. Oke, mungkin Jimin harus memutar otak untuk menemukan jawaban siapa orang-orang terkasih yang ada di sekitarnya, nyatanya tidak ada. Tidak ada keluarga, tidak ada teman. Lalu siapa yang harus dia syukuri? Bisakah ini menjadi alasan untuknya tidak bersyukur?

Ah, tidak… tidak.

Jimin sangat bersyukur. Walaupun tak memiliki seorangpun untuknya bersandar, namun dia tetap memiliki hal-hal kecil untuknya bersyukur.
Seperti saat ini.

Jimin bersyukur masih bisa tersenyum saat melihat beberapa anak kecil berlarian sambil tertawa di taman kota. Tawa polos dari anak-anak itu mampu menghangatkan hatinya. Pada dasarnya Jimin memang menyukai anak kecil. Menurutnya, anak kecil adalah sebuah harta karun. Mereka putih polos dan bisa dibentuk menjadi apapun sesuai dengan pola asuhan masing-masing. Mereka selalu terlihat bahagia tanpa beban. Selalu mengingatkan Jimin dengan masa-masa bahagianya juga. Ya, Jimin juga memiliki masa kecil yang sangat sempurna dan bahagia.

Bruk!

“U-uh, maaf.”

Jimin yang baru saja menegakan tubuhnya hendak pergi cukup terkejut saat seorang bocah laki-laki menabraknya dan jatuh terduduk. Anak itu meringis sakit namun saat melihat Jimin, dia terlihat ketakutan.
Menyadari hal itu, Jimin berjongkok. Membantu anak itu berdiri lalu menunjukan senyum manisnya.

Aigoo, kau pasti berlari mundur tadi?”

“Maafkan aku, hyungnim.”

Gwaenchana. Apa sakit?”

Raut takut anak itu mulai luntur, apalagi melihat senyuman dari kakak dihadapannya. Setelah menjawab pertanyaan Jimin, anak itu memberi salam dan langsung berlari menghampiri teman-temannya.
Jimin terkekeh kecil. Dia mendongak, memperhatikan langit kemerahan yang cukup cerah. Hari mulai sore dan ini tandanya dia harus bergegas menuju kedai ayam untuk memulai kerja part timenya.

Taman kota saat sore memang lebih ramai, terutama dengan anak-anak kecil. Sepanjang kaki melangkah, Jimin melihat begitu banyak keluarga dengan senyum bahagia.
Kembali kenangan masa kecilnya berputar. Ingin Jimin menepisnya jauh-jauh. Namun ia rindu. Jimin benar-benar merindukannya.
Ayah… Ibu… Adiknya…

.

Alunan bunyi gitar yang tiba-tiba tertangkap pendengarannya membuat Jimin berhenti. Alunan itu terdengar santai sarat sendu. Otomatis kepala Jimin menengok kanan dan kiri, mencari sumber suara.

Nah. Ada seorang pemuda dengan gitar ditangannya, duduk di kursi taman tepat di bawah pohon. Pemuda itu seolah tak terganggu dengan sekeliling, sadar tidak sadar dirinya menjadi pusat perhatian. Bukan hanya Jimin, beberapa orang yang lewat pasti menengok ke arahnya bahkan berhenti tepat di depan pemuda itu, hanya untuk melihat dan mendengar permainannya.
Permainannya indah. Alunan nadanya begitu harmonis, mampu menghipnotis pendengarnya. Namun itu tak berlangsung lama. Pemuda itu menghentikan permainannya. Tanpa melihat sekeliling, ia langsung mengambil buku note dan pensilnya, menorehkan sesuatu.
Jimin masih berdiri tak jauh dari pemuda itu. Memperhatikan dengan raut penasaran. Sedikit lucu. Pemuda dengan gitar coklat itu terlihat sedikit lucu dimata Jimin. Bagaimana tidak? Pemuda itu memiliki sorot mata tajam dengan kulit putih pucat ditambah warna rambutnya yang mencolok. Hijau. Warna yang tidak biasa ‘kan?

“Apa aku terlihat lucu?”

Heol.

Jimin hampir tersedak saat mendengar suara berat pemuda itu. Bagaimana bisa? Apa pemuda itu bisa meembaca pikirannya? Mata kecil Jimin membulat lucu namun sedetik kemudian dia menggeleng dengan keras. Tatapan tajam itu cukup mengintimidasi buat Jimin.

Bittersweet TreasuresWhere stories live. Discover now