Awal yang Buruk

1.8K 200 12
                                    

[ Test... Test...
Cuma mau nge test masih ada yang baca gak yaaa ^-^)/ ]

🍁🍁🍁

Hoseok berangkat dari rumahnya pagi sekali hari ini. Setelah kemarin malam dia kembali ke Seoul dan memutuskan pulang ke rumah orang tuanya.

Ada perasaan bersalah karena mangkir dari latihan selama 3 hari, walaupun dia tidak menyesal juga, toh mereka bisa membawa Jimin kembali bersama mereka dan dia cukup bahagia mengingat momen jalan-jalan singkat itu. Rasanya sudah lama sekali dia tidak bermain bebas bersama teman, maka kemarin telah menjadi salah satu momen berharganya.

Menuruni bis dengan penuh senyuman, berjalan dengan santai menuju gedung agensinya. Seharusnya jadwal latihannya dimulai jam 8 tetapi remaja itu sudah menginjakan kaki di sana jam setengah 7.

Hoseok perlu pemanasan. Mungkin saja tubuhnya kaget, rekor karena dia sama sekali tidak menari selama tiga hari ini. Hoseok kira agensi masih terlalu sepi pagi ini, tapi nyatanya dia salah. Keramaian staff dan beberapa trainee di lobby membuatnya mengernyit bingung.

Tak membuang waktu, Hoseok langsung melangkah menghampiri kerumunan di depan LCD besar dekat meja resepsionis itu.

Hyung, ada apa?” sapa nya pada salah satu trainee yang terlihat sibuk mengobrol di sana.

“Oh, Hoseok! Kau kemari pagi-pagi karena kabar itu juga?”

“Kabar? Kabar apa?”

“Hah? Kau tidak tahu?”

Kerutan di dahi Hoseok semakin terlihat dalam. Dengan tak sabaran dia meminta dijelaskan kondisi yang ada.

“Semalam saham agensi anjlok ke angka terendah! Rumornya jika pagi ini angka itu tidak berubah, agensi dalam bahaya bahkan terancam harus menerima merger dari agensi K.”

Hoseok terdiam. Matanya mengerjap, ekspresinya terlihat bingung walaupun sebenarnya dia sangat paham apa masalah yang terjadi. Hal itu membuat rekan di sampingnya mengernyit, “Ya Hoseok, kau ngerti tidak?”

Eoh?” Hoseok terlihat berjengit kaget sebelum meringis, “Ah, aku mengerti.”

Keramaian di lobby tiba-tiba mendadak hilang. Kesunyian terjadi tepat saat pintu lobby terbuka dan masuk segerombolan petinggi agensi, dengan Seokjin yang memimpin di barisan depan bersama asistennya.

Semua yang ada di lobby menundukan kepala saat petinggi-petinggi itu lewat menuju lift. Hoseok menoleh saat pinggangnya disikut pelan oleh rekannya lagi.

“Sejak pagi sekali, mereka semua sudah hadir dan sibuk. Ini bukan masalah sepele.”

Hoseok tak menanggapi. Pandangannya lurus pada punggung lebar Jin yang terlihat melorot dari belakang. Jelas sekali terlihat pemuda tampan itu sangat lelah. Hoseok bahkan ragu jika Jin punya waktu cukup untuk istirahat setelah mereka tiba di Seoul larut malam.

“Hoseok, mau kemana?”

Hoseok tersenyum saat ditanya aneh oleh temannya, “Ruang latihan. Tak ada gunanya juga menonton di sini ‘kan?”

Kepergian pemuda Jung itu diiringi dengan pandangan aneh dari beberapa teman pelatihannya. Hoseok tak peduli. Sudah dua hari dia tidak menggerakan tubuhnya. Apapun masalah yang tengah dihadapi agensi, Hoseok akan percaya Jin punya cara untuk menyelesaikannya.

Yang bisa Hoseok lakukan sekarang adalah berjuang mengasah kemampuannya, jangan sampai sosok yang sudah dianggapnya kakak itu kecewa melihat performanya yang menurun.

🍁🍁🍁


“Berapa lama lagi kita mau berdiri di sini?”

Pertanyaan dengan nada datar namun mengejek itu membuat Jungkook sadar dari lamunannya. Dia menoleh lalu meringis membuat Yoongi memutar bola matanya jengah. Sungguh dia lelah hanya berdiri di sebrang gerbang besar berwarna hitam emas itu. Menurut perkiraannya, mereka sudah berdiri seperti orang bodoh di tempat itu selama kurang lebih 20 menit.

“Jadi kau mau masuk atau kita pulang?” tanya Yoongi mencoba sabar.

Jungkook mengalihkan pandangannya kembali ke mansion mewah milik keluarga Jeon. Dipandangnya begitu lekat sarat keraguan. Sebelum tiba, dia penuh tekad menemui tuan Jeon, meminta penjelasan atas semua yang terjadi. Namun saat kakinya tiba di depan gerbang, tiba-tiba nyalinya ciut.

Hyung…” gumam Jungkook sebelum menggigit bibir bawahnya, “Aku takut.”

Yoongi menghela napasnya begitu dalam. Tanpa berpikir dua kali, Yoongi melangkahkan kakinya menuju gerbang membuat Jungkook membelalakan matanya tak percaya, “Hyung!”

Langkah Yoongi yang hendak menuju pos security itu tertahan saat Jungkook menariknya, “Kita sudah sampai, cepat tanyakan semuanya agar jelas dan kita pulang.”

“Tapi…” Jungkook gelagapan, “Hyung tidak mengerti, abeoji—maksudku tuan Jeon itu—”

“Tuan muda Jungkook?”

Jungkook tersentak saat panggilan itu terdengar. Dia menoleh dan penjaga gerbang sudah berdiri di depan pintu sambil menatapnya dengan senyuman lebar. Mau tidak mau, Jungkook membalas senyuman itu dengan canggung.

“Astaga, anda kemana saja? Semua orang mencari anda!” ujar pria berbadan gempal pendek itu sembari menghampiri Jungkook.

“A-ah… Aku… Aku—”

“Syukurlah anda sudah kembali, saya senang tuan muda. Saya akan mengabari orang dalam—”

“Tunggu, tunggu!” Jungkook menyelanya dengan teriakan membuat pria itu terkejut. Jungkook meringis, menatap Yoongi seolah meminta bantuan. Namun yang ditatap hanya membalas dengan tatapan datar.

Jungkook menghela napas begitu dalam, “Baiklah, paman bisa mengabari mereka tapi… Aku akan masuk sendiri, jangan suruh orang menjemput kemari.”

Pria itu mengangguk dengan semangat, “Baiklah, tuan muda!” serunya sembari berlari menuju pos jaganya.

Jungkook menarik napas panjang sekali lagi sebelum berjalan mendekati gerbang yang sudah dibukakan oleh paman penjaga. Dia menoleh pada Yoongi yang masih berdiri di tempat, “Tidak apa ‘kan kita berjalan sedikit agak jauh?”

Yoongi menaikan sebelah alisnya, tidak mengerti maksud perkataan remaja itu. Belum sempat ia bertanya, Jungkook sudah berjalan mendahuluinya.

Setelah melewati gerbang besar itu, barulah Yoongi sadar apa yang dimaksud oleh Jungkook. Matanya memincing, memandang tidak percaya jalanan panjang yang tak terlihat ujungnya. Awalnya dia kira saat melewati gerbang dia akan langsung menemui bangunan besar, nyatanya…

Hyung?” Jungkook berbalik dan memanggil Yoongi saat pemuda itu terdiam, “Kenapa?”

Yoongi sedikit bergidik, sepertinya dia baru sadar jika orang yang akan ditemuinya bukan orang sembarangan. Salah dia mengira jika Jungkook berlebihan. Yoongi memutuskan tak berkata apapun, menyimpan kegelisahannya dalam hati dan melangkah mengekori Jungkook yang berjalan pelan.

Sebenarnya suasana dalam mansion itu sangat sejuk. Kanan dan kiri jalan dihiasi pohon rindang. Semerbak bunga tercium dari sebelah kanan dimana terhampar puluhan bunga beraneka ragam dan warna. Gemericik air terdengar dan samar terlihat di sebelah kiri agak jauh terdapat air mancur.

Seharusnya Jungkook dan Yoongi relaks melewati keindahan itu. Namun nyatanya keduanya berjalan pelan seolah setiap langkah mereka terasa begitu berat.

Mungkin sekitar 5-7 menit mereka berjalan dan akhirnya bangunan megah itu terlihat kokoh di depan sana. Jungkook menghela napas saat beberapa orang berpakaian hitam—orang-orang ayahnya sudah berbaris di depan pintu utama, seolah menyambut kepulangannya.

“Tuan muda,” seorang pria muda berahang tegas maju ke depan lalu membungkukkan badannya, “Kami sudah menunggu anda.”

Itu asisten pribadinya, dulu. Jungkook selalu memanggilnya dengan sebutan Bing, “Senang melihatmu lagi, Bing.”

Pria itu tersenyum kecil, “Apa anda baik-baik saja, tuan muda?”

“Tidak, tidak. Jangan memanggilku begitu lagi, kau tahu apa yang terjadi,” tolak Jungkook lalu menghela napas panjang.

Bing menatap remaja yang telah diikutinya beberapa tahun belakangan itu dengan seksama. Jungkook tahu jika Bing jelas khawatir akan dirinya, dia agak bersyukur melihat pancaran mata itu.

“Tuan besar sudah menunggu di ruangannya,” lanjut pemuda itu sembari membuka jalan agar Jungkook bisa melewati segerombolan pemuda di depan pintu utama.

Jungkook berjalan tanpa ragu. Dia sudah sampai disini, ragu pun akan percuma. Berbeda dengan Yoongi yang sepertinya semakin terheran dengan keluarga Jeon itu. Dia melewati orang-orang itu dengan perasaan waspada.

“Jungkook-ah!”

Panggilan keras itu membuat langkah mereka terhenti di dekat tangga. Pandangan Jungkook mengarah ke atas tangga, sosok Wonwoo ada di sana dengan napas terengah.

Dengan langkah cepat, Wonwoo menuruni satu demi satu anak tangga dan tanpa aba-aba langsung menerjang tubuh adiknya itu. Jungkook terkejut luar biasa karena pelukan tiba-tiba itu, tak bisa berbuat apapun selain pasrah dan heran.

“Astaga anak ini,” gumam Wonwoo frustasi, “Kau kemana saja, imma!”

Hyung?”

“Kami mencarimu kemana-mana! Kau ini kenapa sih? Kau kira aku dan ibu tidak akan khawatir?!”

Hatinya seolah digelitik, ucapan Wonwoo tak pernah disangkanya. Jungkook mengepalkan kedua tangannya. Bisa dibilang jarang sekali, Wonwoo menunjukkan hal seperti ini padanya.

Wonwoo melepaskan pelukannya lalu menatap sang adik dengan tajam, “Jadi ada apa? Kemana saja huh?”

Jungkook mengernyit bingung, “Kau… apa kau tidak tahu apa-apa? Sungguh?”

“Apa maksudmu?”

Jungkook benar-benar kehabisan kata-kata. Sungguhkah Wonwoo tidak tahu identitasnya yang sebenarnya? Kalau Jungkook bukan adik kandungnya?

Baru saja Jungkook ingin membuka suara kembali, Bing sudah menyela, “Maaf tuan muda, tuan besar ingin segera anda ke ruangannya.”

“Ah, benar. Cepatlah pergi,” Wonwoo menepuk pundak Jungkook sekali, “Ayah sepertinya marah besar.”

Jungkook hanya tersenyum tipis sebelum melangkah pergi. Walaupun dalam diam, Yoongi setia membuntuti setiap langkah Jungkook. Dia hanya melirik sekilas saat Wonwoo menatapnya aneh sarat tidak suka dan waspada.

Yoongi tak pernah membayangkan akan mengunjungi rumah seorang mafia besar seperti ini. Pemandangan rumah tak berbeda jauh dari yang ada dalam film. Walaupun terkesan tenang, setiap sudut ini dijaga ketat oleh orang-orang berpakaian hitam dan berwajah garang.

Pintu di ujung lorong itu dibukakan oleh Bing. Jungkook dan Yoongi masuk dengan waspada. Ada dua orang kepercayaan tuan Jeon yang berdiri tegak di dekat pintu. Sedangkan sang tuan besar sendiri berdiri tegap di dekat jendela, memandang keluar sana.

“Aku sudah lama menunggumu, Jungkook.”

Ucapan itu pelan namun mampu membuat tubuh Jungkook menegang. Anak itu berdiri kaku walaupun sangat terlihat dipaksakan untuk tegar. Yoongi sendiri memincingkan matanya, memandang dengan intens orang yang sangat ditakuti Jungkook itu.

Tuan Jeon berbalik dengan senyuman tipis di wajahnya. Guratan usia terlihat jelas di wajahnya namun rahang tegas dan tatapan tajam itu seolah menunjukkan orang seperti apa sang tuan besar.

“Sudah lelah bermain petak umpet dengan ayahmu ini, nak?” ujar tuan Jeon dengan nada menyindir sembari berjalan mendekat.

Dengan sekuat tenaga, Jungkook berusaha menatap mata tajam itu tanpa takut, walaupun terkadang bola matanya bergetar. Tak hanya itu, sebisa mungkin Jungkook mengontrol nada suaranya, “A-aku ingin menanyakan sesuatu.”

“Apa?”

“Anda pasti tahu alasanku meninggalkan rumah ini. Aku… Aku ingin penjelasan atas semuanya.”

“Penjelasan tentang?”

“A-aku. S-siapa aku? Kenapa—”

“Kau Jeon Jungkook, anak bungsuku. Penjelasan apa yang ingin kau dengar dan membuatku sampai membuang waktu mencari keberadaanmu?”

Jungkook mengepalkan kedua tangannya sebelum tanpa sadar berteriak kehilangan kontrol emosinya, “Aku tahu semuanya, tuan! Aku sudah ingat, aku ingat masa kecilku!”

Mata sipit Yoongi membelalak lebar saat tiba-tiba tuan Jeon menodongkan moncong pistol yang entah diambil darimana, tepat ke dahi Jungkook. Sedangkan Jungkook langsung kehilangan kata-katanya dan berdiri makin kaku bagai ukiran es.

Yoongi hendak berjalan mendekat namun tiba-tiba dua orang kepercayaan tuan Jeon juga menodongkan pistol ke arahnya. Ketegangan pun menyergap dalam ruangan itu.

“Dimana sopan santunmu, nak?” ujar tuan Jeon pelan tanpa menurunkan pistolnya, “Kau tahu ayahmu ini tidak suka bicara dengan nada tinggi ‘kan?”

Jungkook tak menjawab ataupun merespon. Dia hanya berusaha menelan ludahnya dengan sangat sulit dan berusaha tak mengalihkan tatapannya dari tuan besar. Dia sangat tahu bahwa nyawanya benar-benar bisa terengut jika dia tak memusatkan perhatian pada sang ‘ayah’.

“Kenapa hanya diam, hm?” tuan Jeon kembali berujar dengan nada beratnya, “Jadi… seberapa banyak yang kau ingat nak? Jawab aku.”

“Semuanya,” jawab Jungkook dengan nada bergetar, “Saat aku di panti hingga kecelakaan itu.”

“Ah, gurae. Lalu bagaimana sekarang? Perlukah ayah membuatmu amnesia lagi? Atau justru membunuhmu saja? Sepertinya istriku juga sudah tidak memerlukanmu lagi.”

“Brengsek.”

Gumaman itu terdengar begitu keras dalam ruangan dingin itu. Tatapan semua orang teralih pada Yoongi yang sepertinya tak punya rasa takut memandang marah pada sang tuan besar.

Nuguseyo?” tanya tuan Jeon dengan seringaian tipis.

“Kalau kau berani melukainya, aku juga tidak segan membunuhmu.”

Tawa tuan Jeon menggelegar setelah mendengar ancaman Yoongi. Kedua orang di samping kanan dan kiri Yoongi semakin menempelkan pistol mereka di kepala pemuda pucat itu. Tak terlihat takut, Yoongi justru tersenyum mengejek, “Aku serius, tuan.”

“Astaga, nak. Siapa yang kau bawa? Menarik sekali, lihat tatapannya itu—hahaha.”

Tuan Jeon menghentikan tawanya dan dengan ekspresi dinginnya dia memandang Yoongi serius, “Tapi kau tahu jika aku tidak suka orang asing. Haruskah aku habisi temanmu dulu?”

Napas Jungkook sudah naik turun sejak tadi, sejak mendengar ucapan terlewat sopan yang Yoongi gumamkan. Dia takut, dia benar-benar takut sang ‘ayah’ melakukan hal buruk pada Yoongi. Itu hal mudah bagi tuan Jeon.

Jungkook memejamkan matanya sebelum menghela napas pelan sebelum tangannya terulur. Entah keberanian darimana, Jungkook meraih moncong yang diacungkan di depan dahinya.

“Tidak, ayah. Dia hanya menemaniku dan aku di sini untuk bicara baik-baik denganmu. Setidaknya kau bisa membunuhku setelah kau ceritakan semuanya, jangan sampai aku mati penasaran?”

Tatapan tuan Jeon yang sempat teralih pada Yoongi kini berbalik kembali pada Jungkook. Dia memandang dengan heran, anak kecil yang biasanya ketakutan menghadapinya tiba-tiba berdiri tegap dihadapannya dan berbicara lantang seperti itu.

Pistol berwarna hitam itu akhirnya diturunkan, bersamaan dengan tuan Jeon yang kembali tertawa terbahak. Jungkook langsung menoleh ke belakang, memastikan keadaan Yoongi. Untunglah dua orang itu juga menurunkan pistolnya masing-masing.

“Bing, siapkan jamuan untuk tamu kita. Sepertinya pembicaraan ini akan panjang, aku senang anakku terlihat dewasa hari ini.”

Bittersweet TreasuresWhere stories live. Discover now