2.2

1.2K 59 1
                                    

"Papa?" Sarada mematung. Terombang ambing antara percaya atau tidak. ini terlalu mendadak, terlalu indah, dan terlalu kejam untuk sekedar gurauan. Ia takut berharap. Sasuke maju selangkah mengeluarkan dirinya dari bayangan kegelapan. Wajahnya terlihat lebih jelas dibawah sinar bulan. Matanya sama dengan Sarada. Semerah darah dengan saringgan. Perlahan mata itu mengeluarkan air mata kecil. Sama seperti Sarada.

"Apa itu kau?" Sarada berjalan cepat kearah Sasuke. Jarinya menyentuh kecil jubahnya. Aku mohon jangan ada kejutan lagi. Sentuhan jari menjadi genggaman, genggaman menjadi pelukan. Mereka berpelukan. Sangat erat menyisakan isak tangis di udara.

"Kau Sarada." tangan Sasuke melingkari pinggang rampingnya. Menariknya mendekat. Sesekali mengusap lembut kepala Sarada. ini benar dia.

"Papa... papa... kau benar papa..." setiap nama yang ia sebutkan semakin erat pelukannya. Dia bergerak memperdalam pelukan ke Sasuke. Sudah lama, benar-benar lama Sarada tidak merasakan kehangatan papanya. Nyeri di sekujur tubuhnya mendadak hilang digantikan kenyamanan dan kehangatan.

Begitu pula sasuke. Bertahun tahun ia mencari putri satu-satunya ini. bahkan sempat menyerah dan menganggapnya sudah pergi tuk selamanya. Tapi dia disini, memeluk idrinya bak anak kecil. Memeluknya seperti dulu, dengan kasih sayang.

"Lihat dirimu. Kau sudah besar. Menjadi gadis cantik seperti ibumu." senyum kecil terulas di wajahnya. Sarada sudah besar. Dia jadi lebih tinggi walau tidak melebihi dirinya. Rambutnya hitamnya terurai panjang tampak berkilau di bawah sinar bulan.

"Terimakasih, Papa. Walau begini aku masih putri kecil papa." Sarada mengeratkan pelukannya. Tak ingin melepas begitu saja. Cukup lama mereka dalam posisi itu. Sasuke melepasnya duluan. Memandang Sarada lekat-lekat. Sarada mengerjapkan mata.

Apa yang papa lihat? Tunggu bukannya tadi aku berendam. Itu berarti aku masih...

Sarada melihat ke bawah. Dia hanya berbalut pakaian dalam. Sontak wajahnya memerah. Tanpa sadar tangannya membentuk jutsu air, "Su-su-SUITON NO JUTSU! PAPA SHANNAROOO!!!"

Sarada POV.

Aku membantu papa menjemur pakaiannya di jendela. Sesekali memerasnya lalu mengibaskan ke udara, "Go-gomenasai papa." Ucapku sedikit malu. Semburat merah masih tertera di pipiku.

"Hn" walau terdengar ketus. Aku tau ia memaafkanku. Bagaimanapun dia tetap lelaki. Tubuh wanita adalah emas kau tau. Harus dijaga baik-baik.

"Aku lega kau baik-baik saja, Sarada." aku mengangguk. Hatiku terasa hangat, membawa senyuman di bibirku. Kapan terakhir kali aku tersenyum, aku tidak tahu. Tapi sekarang itu sudah kembali. Untuk pertama kalinya sejak terakhir kali, aku bisa tersenyum tulus. Aku beranjak dari jendela ke sebelah Papa. Duduk diantara perapian.

"Bagaimana papa bisa kemari?" tanyaku membuka percakapan. Suaraku bergema di antara ruangan banguanan tua. Benar, kami pergi ke salah satu rumah penduduk untuk mencari kehangatan. Aku mengumpulkan beberapa ranting diperjalanan dan menyalakan api dengan jutsu api.

"Hn. Hanya mengikuti cakra aneh yang ku rasakan belakangan ini. Selain itu, untuk menyelidiki ini." Papa mengeluarkan pedang besar hitam. Setelah ku sentuh dan mendekatkannya pada perapian, ternyata Ada warna merah dibagian tengahnya. Pudang ini indah tapi aku tidak bisa menggunakannya. Terlalu besar dan berat. Panjangnya hampir sama seperti katana milikku tapi lebih pendek.

"Pedang ini tidak cocok untuk pertarungan," ujarku spontan. Latihan dan buku membuatku leboh sensitive terhadap senjata. Sangat sulit menemuka senjata yang cocok untukku. Mereka selalu meledak ketika dialiri cakraku dan kaguya. Jangan salah paham, senjata yang dibuat Toneri benar-benar bagus dan berkualitas. Berbagai cara toneri lakuakn untuk membuat senjata yang tahan terhadap cakra kaguya. Tapi tak ada yang cocok. Sedangkan aku memerlukan senjata itu saat rinne sharinggan ditanagnku.

Janji ShinobiWhere stories live. Discover now