10.2

1.1K 52 10
                                    

6 jam berlalu. Oprasi berjalan lancar. Seluruh lukanya sudah ditutup dengan sempurna. Luka berat dibagian lengan, bahu, dan kaki kanan, selebihnya hanya luka bakar biasa. Suster sudah mengolesinya dengan salep herbal. Setidaknya butuh 4 hari agar ia sembuh total.

Sasuke dipindahkan ke ruangan regular. Memasangkan infus dan darah tambahan. Setelah memeriksa semuanya, mereka pergi. Termasuk aku. Naruto berada diambang pintu. Dia masuk. Berjalan mendekat ke kasur Sasuke dan mulai memeriksanya.

"Lukanya lebih parah dari dugaanku. Tapi kami berhasil menutupnya. Suhu tubuhnya sempat tinggi karena demam tapi sudah kami atasi. Untuk sementara dia akan tinggal sampai keadaanya membaik. Kemudian melakuakn cek rutin setiap pagi. Sampai saat itu aku yang akan merawatnya." Sudah pasti. Aku istrinya. Tak perlu alasan khusus untuk membuatku terjaga. Tidak seperti dulu. Mengingat diriku dimasa kecil yang selalu berterbangan disekitar Sasuke. Mencari-cari alasan agar aku bisa berada di dekatnya. Seperti lalat saja.

"...." Hm? Tidak biasanya naruto sediam ini. Dia yang paling berisik diantara kami ber-3, "Maaf, Sakura." Perkataannya yang tiba-tiba membuatku tersentak. Melihat hokage yang terluka bukan pandangan yang ku inginkan. Sebagai Hokage, keinginannya untuk melindungi semua orang sangat tinggi. Warga aman, desa maju, seluruh rakyat setidaknya makmur, tapi menjaga orang terdekatnya saja dia belum bisa. Itulah yang membuat mata biru itu menyerit.

"Sasuke sudah melakukan yang terbaik. Kau pun juga." ujarku menenangkan. Dia menatapku kemudian mengangguk berterimaksih. Karena tidak bisa lama, dia pamit pulang. Dia berpesan, "Jika Sasuke sudah siuman, katakan padanya aku yang akan datang bukan dia. Dia pantas mendapat istirahat yang cukup."

Aku mengangguk kemudian beranjak pergi untuk memenuhi tugasku. Belum 30 menit aku beristirahat, surai kuning, mata biru dengan kumis, ditambah suara annoyingnya,

"Sakura obaa-chan! Sensei-?! Sa-Sasuke Sensei!!" aku memandangnya malas. Sungguh ayah anak sebelas dua belas.

"Jangan berisik di rumah sakit!"

PLETAK!!!

Boruto Uzumaki duduk disamping kasur suamiku. Mengusap kepalanya pelan, "Kau tak perlu memukulku, ttebassa."

"Sudah kuperingatkan. Tapi kau tidak mendengarkan."

"Baiklah, kau menang! Maafkan aku." Dia bergumam. Merasa kalah debat dengan si dokter ini.

"Apa? Aku tidak bisa dengar"

"Karena berteriak di rumah sakit, Gomennasai!" ujarnya malas.

"Jangan mengulanginya lagi, mengerti."

"Ha'i~" Boruto memandang Senseinya, "Apa yang terjadi?"

"Aku juga ingin tau." Pulang dengan keadaan seperti ini... sungguh tidak biasa. Musuh macam apa yang ia lawan sampai membuatnya seperti ini? Apa dia menemukan Sarada? Apa Sarada baik-baik saja? banyak pertanyaan yang kupunya. Dan sedikit jawaban yang ia punya. Aku menghela napas, menggeleng tanda tidak tau.

Boruto bungkam dan memilih diam. Mata biru menampilkan kemarahan dan semangat yang berkobar. Entah apa yang ia pikirkan kuharap itu hal yang positif. Melihatnya begini membuatku teringat akan Naruto dimasa dulu.

"Hmm..." Suara dari arah kasur. Sasuke mengerang. Cepat aku menghampirinya. Menyentuh pipinya mendekat. Tidak ada tanda-tanda kesadaran. Sepertinya dia hanya mengigau. Kujauhkan pandanganku namun tak melepasnya. Wajahnya terlihat lelah. Dia pasti bertarung habis-habisan disana. Sasuke... anata..

"Kau sangat mencintai Sasuke sensei." Sontak kutoleh pemilik mata sapphire biru itu, "Tentu saja. Kenapa kau bertanya?" pertanyaan konyol. Siapapun tahu betapa kami saling mencintai. Walau Sasuke tidak pernah menunjukkannya didepan umum.

"Ah, tidak! Itu keluar begitu saja. Maaf.." ujarnya. Dia tidak berbohong. Raut bingung bercampur sedih. Entah kenapa ada sesuatu dibalik itu. Rindu mungkin?

"Kau suka Sarada?" tanyaku tanpa sadar. Ekspresi kami sama-sama kaget. Kenapa aku bertanya? Entahlah, aku hanya merasa Boruto memiliki hubungan yang kuat dengan Sarada. dia mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui, dia yang lebih sering bersama putriku. Bukan aku, dan aku kehilangannya. Terlambat untuk menyesal, bukan?

"Da-dari mana itu berasal, ttebassa!!!" Wajahnya memerah. Membuatku ingat akan Hinata.

"Hei! Jangan berteriak di rumah Sakit!" aku memperingatkannya lagi. Dia bungkam. Menunduk menahan malu. Ah! Sifat Hinata menurun banyak padanya.

"Aku hanya bertanya, Boruto. Kau menyukai putriku?" dia diam. Kepalanya semakin menunduk. Dari jauh aku bisa melihat telinganya yang memerah. Wah...

"A-aku... aku tidak..."

"Kau tidak suka?"

"Bu-bukan begitu..." dia menautkan jari telunjuk kanan dengan yang kiri. Menggerak gerakkan bak anak kecil malu-malu meminta permen, "Ma-maksudku iya..."

"Maksudku mungkin..."

"Jadi yang mana?" tanyaku tidak sabar. Ada apa dengan sikapnya itu?

"Arrggg! Aku tidak tahu, ttebassa!! Sakura Obaa-chan bagaimana perasaanku terhadap Sarada?"

"Mana ku tau, bocah kumis -_-." Ahh.. bodohnya aku. Dia keturunan Naruto kau tau. Naruto yang tidak peka dan bodoh.

"Ini rumit..." ujarnya setelah sekian lama mencari kata yang tepat.

"Hah... kau dan Naruto sama-sama merepotkan."

"Hei-!" Sebelum ia menjawab, kutepuk pundaknya. Dia mendongak. Menunggu penjelasan. Tapi tidak ada. Dengan santai aku keluar. Membiarkan otak kecilnya bekerja. Aku sudah berusahakan, Sarada? sisanya terserah padamu. Setidaknya ia mulai berpikir tentang perasaan bukan misi dan pencarian batang hidungmu. Boruto bertanya, namun tiada jawaban. Yah, biar dia yang mengetahuinya sendiri.

"Sakura obachan aneh."


.

.

.

Hallo! maaf jarang update. Karena persiapan ujian dan lain-lain saya harus 'libur' untuk beberapa waktu. Saya tidak bisa janji update dalam waktu dekat. tapi akan saya usahakan.

Thank you so so much for reading and waiting my story (especially you!). I really appreciate it. Sorry if it doesn't match your expectations. i hope you enjoy it. Again, this is for fun.

Janji ShinobiWhere stories live. Discover now