5.2

1K 49 4
                                    

Hallo!! Maaf nggak update. Karena pekerjaan yang terus menumpuk belum lagi ujian saya harus off untuk sementara.

Sudah lama saya tidak menulis jadi kualitasnya masih bobrok. Tapi saya harap bisa menyenangkan pembaca. Maaf ya kalau jelek. saya Menulis karena suka saja. Enjoy! :)

.

.

Mitsuki dan Sumire terdiam sejenak setelah kejadian tadi. Mereka tidak tau apa yang harus dikatakan. Tepatnya Sumire, ia merasa malu karena menangis didepan pria ini. entah menagapa menampilkan sisi lemahnya membuat dia gelisah sendiri. Dia tidak terbiasa berterus terang seperti ini. tapi, didepan Mitsuki, seluruh keluh kesahnya seakan keluar. Ia tak merasa khawatir sedikit pun. Bahkan merasa nyaman. Ia yakin Mitsuki akan menjaganya dengan baik dan itu lah yang membuatnya seperti ini.

Sumire POV

"Uwawawa.. Gomen Mitsuki seharusnya aku tidak seperti ini." rasa gugupku keluar. Sungguh ini sangat memalukan.

"Tak apa, Sumire. Kau bisa menceritakan semuanya padaku." Aku tersenyum. meskipun sikapnya aneh, Mitsuki adalah orang yang baik. Aku mengambil tisu lagi lalu mengelap sisi mata kanan yang mulai basah dengan air mata. Sesekali aku mencuri pandang kearah Mitsuki. dia melamun lalu kembali tersadar lalu tersenyum dan begitu seterusnya. Sampai akhirnya ia membuka mulut,

"Kau tau.. sudah lama aku menganggap Boruto sebagai matahariku. Sebenarnya aku tidak terlalu paham apa artinya. Tapi begitu bertemu dengannya aku langsung yakin bahwa dialah yang akan membawaku menuju jalan yang benar. Kau tau maksudku, kan? Sulit untuk menjelaskan. Tapi, pemikiran itu terus berlanjut sampai Ototsuki-sama mendatangiku."

Mitsuki terdiam, ia tak melihatku sama sekali melainkan teh hijau digenggamannya.

"Dia bilang tekad yang kuat dan menghasutku untuk menemukan tekadku sendiri. kau sudah tau sebagian ceritanya." Aku mengangguk. Meskipun aku lebih tepatnya kami tidak bisa melakukan apapun, kami tetap datang dan membawa Mitsuki kembali. Dia bercerita tentang kasus ini dan berulang kali meminta maaf. Dia tau dan kami pun tau bahwa taka da yang perlu dimaafkan karena ia tak bermaksud seperti itu. Jauh dilubuk hatiku, aku yakin dia akan kembali. Melaksanakan misi bersama timnya, bercengkrama dengan kami, atau hanya sekedar mengikuti Boruto dengan wajah kakunya. Entah kenapa saat itu aku sama sekali tidak khawatir. Karena aku percaya. Aku... percaya pada Mitsuki.

"Lalu, aku keluar desa. Dicap sebagai pengkhianat bahkan melukai sahabatku sendiri. meninggalkan segalanya di Konoha tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Padahal aku mati-matian untuk tinggal lama di desa ini. tapi... entahlah saat itu aku benar-benar buta. Dengan mudahnya menggali kuburanku sendiri. aku bersyukur Hokage sama tetap mengizinkanku tinggal. Lalu semuanya kembali normal. Sarada pengecualian."

"Tapi rasanya... berbeda. Entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal di sini." Mitsuki meletakkan tangannya di dada. Tepat di atas jantungnya. Meraba seperti hendak mencari apa yang ganjal disana. Andai saja itu adalah batu yang bersarang dihatinya. Mitsuki dengan senang hati membedah dirinya sendiri dan mengeluarkannya secepat mungkin. demi menghilangkan keganjalan itu. Yang selalu mnyesakkannya setiap malam, setiap hari, dan mungkin selamanya.

Sayangnya tidak. perasaan manusia lebih rumit dari yang ia banyangkan. Maksudku Mitsuki bukan manusia biasa. Jadi, dia masih belajar menjadi manusia seutuhnya. Termasuk perasaan.

"Ku-kuarasa aku tau. apakah itu rasa bersalah?" tebakku sedikit berharap jika itu benar.

".... Mungkin? entahlah aku juga tidak tau." ucapnya ragu.

"A-ano aku tidak tahu apakah ini benar atau tidak. hanya pemikiran ku saja. kalau kau tidak keberatan..." aku menatapnya takut takut. Ia memandangku sekilas lalu tersenyum tanda mengiyakan.

Janji ShinobiWhere stories live. Discover now