11.2

2.4K 98 76
                                    

BRRUKK!! BAAM!! KRAAAKK!!

Suara pukulan, bantingan, bahkan patahan entah benda apa itu, terus terdengar dari hall istana. Toneri yang sedari tadi menunggu mereka hanya bisa diam dibalik pintu. Sesekali terdengar suara rintihan Sarada maupun cacian Kaguya. Setelah kejadian dengan Sasuke, Kaguya membawa Sarada ke istana. Dia melempar, menyiksa, dan memukulnya dengan kasar. Toneri sempat bertanya dan mencoba menghentikan mereka tapi Kaguya malah mengusirnya jauh-jauh dengan cara yang tidak baik.

Sarada POV

"Bocah sialan!"

BAAMM!!

"Begini kau membalasnya!!"

BRUKK! KRAAK!

"Sadari posisimu makhluk rendahan!"

KKRRAAKKKK!!

"AAAHHRRRGGGG!!!" Aku tidak bisa menahannya lagi. Ini menyakitkan. Perlahan air mataku jatuh. Ringisan dan tangisan terus keluar. Sudah berapa kali dia membantingku, berapa kali dia memukulku, dan berapa kali dia mematahkan tulangku. Sampai sekarang 2 tulang rusukku patah, lenganku hancur, dan lebam di sana sini.

"Ka-kaguya, Kau ti-tidak mengerti. Aku tidak berkhianat."

"Hmph! Mudah untuk bicara."

"Aku-"

"Tutup mulutmu, bajingan!

PLAAK!

"Kita percepat proyeknya. Entah kau siap atau tidak." Setelah puas menghukumku yang lebih ke penyiksaan. Dia berjalan pergi. Menghilang dibelokan. Tak seklaipun dia menoleh atau sekedar melirik. Hilang begitu saja tanpa rasa dosa dan penyesalan. Benar-benar iblis.

Saat itulah kurebahkan tubuhku. Sakit.. sakit sekali. Bibirku berdarah, mataku bengkak, tulang hidung patah. Ketika aku duduk, baru kusadari kakiku tidak berasa ditempat yang seharusnya. Tanganku hancur, dan aku bisa merasakan tulang rusukku yang bertubrukan. Dari semua siksaannya, ini yang terparah. Dia berpikir aku mengkhianatinya dan mencoba kabur. Aku bersumpah demi nama Shinobi aku tidak melakukannya. Yang aku inginkan hanya menjelaskan semuanya pada Papa. Lalu, meminta ijin untuk melakukan misi ini. Sungguh tidak ada keinginan untuk berkhianat di hatiku. Untuk apa melakukan sesuatu yang tidak ada untungnya?

Meski kucoba menjelaskan tapi dia tidak mendengar. Kaguya terlanjur marah dan kecewa. Setelah ini pun aku ragu Kaguya akan mendengarkanku. Secara mengejutkan tim medis Toneri keluar. berjejer melingkariku. Kacamataku hancur aku tidak bisa melihat dengan jelas. Yang kutau Toneri bersama mereka.

"Kau terlihat mengerikan." Sungguh? Kata itu yang harus diberikan pada rekanmu yang baru saja disiksa? Tidak berperasaan.

"Terimakasih."

"Tenanglah kau akan sembuh. Setidaknya butuh 72 jam untuk menyembuhkan semua ini." Tangan dinginnya menyentuh wajahku yang terluka. Reflek aku meringis. Sakitnya tidak tertahankan.

"Sampai kau tidak menyembunyikannya. Kurasa sakit sekali, bukan?"

"Bagaimana menurutmu?"

"Proyek dimajukan. Waktumu untuk sembuh tidak lebih dari 48 jam. Kau harus sembuh dalam waktu itu." Baiklah aku baru ingat bahwa dia bukan manusia. Dia boneka yang tidak berperasaan. Mulai sekarang aku akan berhenti berharap.

"Tambahkan bonekanya. Sembuh atau tidak mereka yang bertanggung jawab."

"Sinis seperti biasanya, Uchiha."

Tangan toneri mengisyaratkan maju. Seluruh boneka yang ada mengangkatku dengan lembut. membawaku ke kamar dan mulai proses penyembuhan. Cakra hijau menyelimuti ruangan. Seluruh energy diberikan kepadaku. Toneri tidak beranjak. Dia duduk diam dipinggir kasur. Sesekali memanggil boneka lain untuk membawakannya sesuatu. Obat, suntik, alat-alat silver, air minum, dan sebagainya. Dia tidak rpot membawa roti atau camilan.

"Kau seharusnya tidak mengkhianatinya."

"Aku tidak."

"Jadi hanya kesalah pahaman."

"Kau percaya?"

"Ada alasan kau berbohong?"

"Tidak." aku tau resikonya. Jika benar aku berkhianat mungkin aku tidak disini. Mungkin Konoha akan hancur sebelum waktunya, dan mungkin esok tidak akan datang untukku. Jadi, untuk apa aku melakukan itu.

"Bagus. Kucoba meredakan suasana." Kalimat terakhir Toneri sebelum pergi.

Setiap 3 jam sekali, para boneka berhenti. Digantikan boneka lain kemudian melanjutkan penyembuhan. Sedikit demi sedikit rasa sakitku hilang. Mataku mengempis, memudahkanku untuk melihat. Bibirku bisa bergerak tanpa rasa sakit. Jari-jariku mulai terasa. Toneri kembali membawa kacamata baru. Warna merah seperi yang kusuka. Dia meletakkannya disamping meja.

"Dia memaafkanmu." Ujarnya. Apa? Dia yang seharusnya meminta maaf. Kau lihat tubuhku remuk disini? dan aku yang harus meminta maaf? Bagus, bagus sekali.

"hn." Tidak ingin berdebat. Kuakhiri saja.

"Keadaanmu?"

"Lebih baik."

"Bagus." Toneri menarik lenganku pelan. Seperti memegang sesuatu yang rapuh, dia menelusuri lebam biru disana. Mulai dari siku hingga pergelangan tangan. Aku baru tau ada luka disana. Setelah disentuh sakitnya mulai terasa, "Aku akan membedahnya."

"Maaf?"

"Kaguya membuka jalur cakra ditubuhmu agar mempermudah penanaman."

"Kapan dia melakukannya?" tanyaku heran. Dilihat dari situasi, kurasa lebam unnormal itu salah satunya.

"Ketika menyiksamu tadi. Kudengar pembukaan pintu cakra sangat sakit. Kurasa dia mengalihkannya dengan menyebar sakit itu." Dia tersenyum remeh.

"Dia bodoh atau bodoh?" hardikku. Jika Toneri benar, aku lebih memilih resiko dari pada sakit menyebar begini. Belum lagi 'perintah' untuk sembuh dalam waktu 48 jam. Tidak masuk akal. Tidak manusiawi lebih cocok.

Toneri mulai melakukan pembedahan setelah menyuntik obat bius sehingga tidak terasa sakit. Aku menengadah. Menatap langit kamar yang terukir sempurna. Sudah lama aku memperhatikan tapi tak satupun dari mereka membuatku bosan. Begitu detail dan tajam. Setiap ukirannya mengandung makna dan sejarah. Bahkan Toneri tak sanggup menghapalkan semuanya. Buku di perpustakaan membantuku memahami mereka. Lingkaran bermakna persatuan, garis lurus yang tak pernah ada ujungnya bermakna kestabilan dan ketenangan, segitiga bermakna derajat penghormatan, garis lengkung menyimbolkan kelembutan, dan sebagainya.

Dentingan pisau terdengar nyaring. Kurasa Toneri sudah menyelesaikan pekerjaannya. Bukannya tidak berani melihat, darah adalah bagian dari tubuhku. Melihat daging terkoyak, organ keluar, dan sebagainya sudah biasa. Kaguya tak pernah melewatkan pelajaran itu. Rasa takut, sedih, ragu tidak akan dibayar dengan kemenangan, melainkan kematian. Ketika aku mengintip, Toneri mengerutkan alisnya. Jelas saja dia tidak suka dilihat saat bekerja dan itulah yang kulakukan. Mengamati ukiran dengan warna monoton.

"Sudah. Setelah ini mungkin akan terasa sakit." Toneri mengangkat peralatannya. Dia mengisyaratkan salah satu boneka untuk pergi. Perlahan kuangkat tanganku melihat luka jahit yang rapih. Perlahan bekas jahitan itu mulai memudar, menyatu kembali dengan kulit, sampai akhirnya hilang tak berbekas.

"Tidak ada bekas jahit?"

"Tentu saja. Tugasku hanya membuka pintu cakra kemudian menghubungkannya dengan cakra Kaguya. Cakra itu akan menyembuhkan luka sang pemilik dengan segera."

"Tapi menggerogoti dari dalam. Aku tau." sinisku. Tak perlu basa-basi. Menyebutkan keuntungan sedangkan kelemahannya sudah terbuka lebar. Tak ada gunanya melainkan menyedihkan. Toneri tersenyum dalam diam. Dia beranjak pergi ketika matahari terbenam.

Bulan Nampak terang dibalik jendela. Menyebarkan ciuman dinginnya ke wajah putihku. Walau kamar ini penuh cakra penyembuh berwarna hijau, Aku masih bisa melihat warnanya. Anggun namun elegan. Warna sang bulan. Bayangan matahari. Kuning keemasan diselimuti cahaya biru. Melihatnya membuatku teringat akan rekan setimku. Tim tujuh. Boruto dan Mitsuki.

"Boruto... Mitsuki..." gumamku. Hari mulai malam. Tubuhku lelah dan sakit. Rasa nyeri dari oprasi tadi mulai timbul. Namun, berkurang karena cakra ini. Hawa dingin yang menusuk membuat mataku berat.

"...Aku... rindu.." sebelum tertutup membawaku kealam bawah sadar.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 18, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Janji ShinobiWhere stories live. Discover now