Chapter 19 Sesi Curhat✔

384 113 44
                                    

Malam hari tiba dengan cepat. Angin malam menusuk pori-pori kedua insan yang tengah sibuk memikirkan perasaan mereka masing-masing. Tara di balkon kamarnya, begitu juga dengan Mayra di balkonnya sendiri.

Mayra duduk memeluk kedua lututnya dan menyandarkan dagunya di lutut kirinya. Termenung, memang sudah menjadi kebiasaannya beberapa hari ini. Memikirkan tingkah papanya yang semakin kejam pada dirinya, kemudian memikirkan Kak Tara yang kembali muncul dihadapannya, terakhir ia memikirkan kecanggungannya pada Tara.

'Mending gue telpon aja.'

Cukup lama ia menunggu jawaban dari panggilannya. Di lain tempat, Tara mengambil ponsel dari saku celana sebelah kanannya, berdering nyaring menggemakan lagu On My Way. Perasaan itu kembali muncul. Rasa yang benar-benar menyiksa dirinya. Sesak yang tak pernah dirasakannya selama ini, rasa itu memang tak bisa membuatnya menangis. Bukan karena ia adalah seorang lelaki, mungkin karena terlalu memilukan hingga tak bisa membuatnya menangis.

Lama dipandanginya nama Moyang Benalu itu. Gundah, di satu sisi tidak ingin mendengar ocehan Mayra, di sisi lain dia merindukan suara itu.

"Hmm."

"H-hai, Ra," jawab Mayra dengan canggung.

"Kenapa?"

"Besok ada pr gak?" 'Bodoh, gak ada topik lain apa?!' Batin Mayra.

Helaan nafas terdengar. "Gak. Gue sibuk. Gue ma-"

"JANGAN," pekik Mayra tanpa sadar.

"Hendra."

DEG.

CATAT. Ini pertama kali bagi Mayra memanggil Tara dengan sebutan Hendra. Mayra menyambung ucapannya sambil memandangi bintang-bintang yang bersinar dengan indahnya di malam ini. "Hendra. Dia adalah seseorang yang gue kenal. Orangnya pintar, ramah, ganteng, pokoknya sempurna di mata orang lain." Tara mendengar dengan seksama.

"Jujur aja, gue gak punya tujuan hidup, selalu merasa gue gak punya suatu hal yang bisa membuat gue bertahan untuk tetap hidup di dunia ini. Tapi saat itu juga, Tuhan mendengar keluh kesah gue dan akhirnya mengirim seseorang yang menjadi cahaya bagi gue." Tara tetap mendengarkan dan napasnya mulai tercekat. Hatinya semakin sesak.

"Namanya Hendra. Bagi semua orang memang dia sempurna. Tapi bagi gue, dia seperti orang-orang biasa lainnya. Karena memang gak ada orang yang sempurna. Gue tahu hampir semua tentang dia. Takut akan kegelapan, gak suka makan kangkung, sering kentut diam-diam, dan hal-hal lainnya," katanya dengan kekehan kecil di akhir. Kalimat membuat senyuman hangat di bibir Tara terbit. Tapi tetap ada rasa sakit di ulu hatinya.

"Gue jatuh cinta untuk pertama kalinya. Mulai mengikutinya, mencari tahu semua tentangnya, ya walaupun penolakan yang selalu gue terima. Dia selalu bilang kalau dia benci sama gue, tapi gue udah terbiasa dengan sikap benci yang orang lain tujukan ke gue. Gue selalu berharap bisa menjadi bagian hidup dia sampai takdir memisahkan."

Tara dapat merasakan betapa sakitnya hati Mayra. Terbayang olehnya awal pertama kali mereka bertemu di saat Tara tak sengaja menumpahkan air miliknya pada jaket Mayra. Dan semuanya berlanjut pada sikap Mayra yang selalu mengganggunya dan tidak henti menyatakan cinta padanya. Terlihat rahang yang mengeras mengingat tingkah lakunya selama ini pada Mayra.

"Lo harus berjuang," lirih Tara.

"Gue gak akan pernah berpaling. Lo tahu 'kan kalau gue ini pantang menyerah? Tapi gimana gue bisa tetap mencintai dia disaat dia mencintai orang lain?"

"Lo punya cinta yang tulus. Dia pasti menyesal dengan menolak lo." Mayra tersenyum mendengarnya. "Gue harap juga gitu. Tapi nyatanya gue merasa semakin jauh dengan dia. Apa memang takdir gue hanya bertemu untuk sementara dengan dia? Jujur gue gak tahan dan pengen mengakhiri penderitaan gue yang dengan bodohnya selalu mencintai dia yang gak punya perasaan apa-apa ke gue. Gue bodoh ya, Ra?" Tara menggeleng dan tentu tak terlihat oleh Mayra. "Tapi gue cinta. Cinta yang tulus, hanya untuk dia seorang, mau bagaimanapun keadaannya." Kalimat itu berhasil membuat air mata Tara terjatuh. Tidak ada isakan, air mata itu mengalir dengan tenang. Ia menunduk dan memejamkan matanya. Akhirnya, sesak itu tersalurkan.

"Maaf ya gue jadi curhat gini. Soalnya gue udah gak tahu mau cerita ke siapa lagi. Ya udah, gue matiin ya."

Tut tut tut

Tara mencengkram kuat pagar besi balkon kamarnya. Sungguh dia sangat menyadari perasaannya sekarang. Rasa cintanya berhasil membuatnya menyesal dan menimbulkan sesak di dadanya.

'Gue nyesal, May. Gue udah terlalu sering nyakitin lo.'

*♡*

Kantin begitu riuh dengan para siswa yang kelaparan. Tara dan kedua sahabatnya tengah menikmati batagor mereka. Mayra yang berada di satu meja bersama mereka juga sedang menikmati makanannya, bubur ayam.

Tapi ada hal yang aneh terjadi. Pola duduk yang tidak seperti biasanya, yaitu Tara yang duduk bersebelahan dengan Arka dan di hadapan mereka ada Aqim dan Mayra. Tidak ada kelakuan manja, tidak ada suara melengking, dan tidak ada percakapan yang tercipta antara Tara dan Mayra. Aqim dan Arka saling pandang, ingin menanyakan sebab mengapa dua sejoli ini menjadi orang aneh, tapi mereka tak berani bertanya. Takut terkena semburan maut, pikir mereka. Lebih baik diam, amati, lalu buat kesimpulan.

'Bodoh banget sih gue pake acara curhat-curhatan segala tadi malam. 'Kan gue jadi malu sendiri kalo mau ngomong. Ini bukannya dekat, malah makin ngejauh.' Mayra merutuki dirinya sendiri.

'Ngomong dong May. Kok lo jadi pendiam gini sih? Gue makin merasa bersalah sama lo. Setidaknya bersikap biasa-biasa aja sama gue, biar gue bisa tenang. Gak mikirin lo terus.' Tara sedari tadi terdiam menunggu Mayra berbicara terlebih dahulu.

'Woy ini kenapa jadi diam-diam gini? Pasti terjadi sesuatu sama mereka. Gue jadi kepo sama mereka. Apa jangan-jangan mereka udah jadian lalu sekarang lagi berantem?! Gue kalah telak dong sekarang?! Ini sih judul sinetronnya "Gebetanku adalah pacar sahabatku"'. Aqim berteriak dalam hati. Ia pun menatap sedih batagornya.

'Ini gue yang ketinggalan info atau gimana sih? Kok auranya mencekam gini? Tara sih gue gak heran kalau dia diam fokus sama makanannya. Nah, si Mayra ini loh kenapa? Apa kesambet setan bisu ya? Eh ... ini si Aqim kenapa lagi? Mandangin batagor kok segitunya.' Arka seraya memandangi Aqim yang tengah mengusap piring batagornya.

Ya begitulah mereka. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Pepatah mengatakan, ada pelangi setelah hujan. Tapi yang terjadi adalah ada kegaduhan setelah kesunyian. Kegaduhan yang terjadi tak lain dan tak bukan karena kedatangan si licik dari gua hantu yang tak lain adalah Rena. Ia datang menghampiri Tara, Arka, Aqim, dan Mayra. Tangannya memegang tiga lembar undangan bewarna ungu yang dipadukan dengan warna putih.

"Hai Kakakku sekalian, aku mau ngasih undangan ini. Jangan lupa datang ya," katanya sambil membagikan satu-persatu dari undangan itu kepada Aqim, Arka, dan yang terakhir kepada Mayra. Jangan lupakan senyuman licik tersembunyi yang terukir untuk Mayra.

"Loh kok cuma kita bertiga, Ren? Hendra gak lo undang?" tanya Aqim bingung. Ya dia tahu bahwa Rena juga menyukai Tara. Pikirnya Rena tak mungkin tidak mengundang Tara di acara ulang tahunnya sendiri.

"Tenang aja, karena ..."

*♡*

Dulu gue bersikap seenaknya sama lo May. Gue bersikap seperti itu karena gue gak tahu gimana rasanya diperlakukan buruk oleh orang yang dicintai. -Mahendra Regantara

***

Yuhuuuu.... btw Mayra Tara kalian maunya berapa chpter nih?

Tak Pernah Berpaling (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang