Chapter 22 Luka ✔

346 103 22
                                    

"Hai," kata seorang dari mereka berdua, sedangkan Mayra masih terbengong melihat dua lelaki tampan itu.

"Helloooo ... ini gue sama Hendra gak disuruh masuk dulu apa, May? Gue tahu kalau gue ganteng, tapi jangan pandangin gue di depan pintu juga kali, May." Semua adalah ide Aqim yang memaksa Tara untuk memberitahu dimana rumah Mayra. Ternyata setelah memberitahukan alamat itu, Aqim malah menyeretnya ke sini, ke rumah Mayra.

Tara beranjak dari tempat ia berdiri, memasuki rumah megah itu. "Woy Dra, ini yang punya rumah aja belum nyuruh kita masuk. Seenaknya aja lo," kata Aqim, tapi langkahnya mengikuti Tara yang masuk ke dalam rumah. Mayra hanya melirik mereka tanpa bersuara dan ujung-ujungnya ikut duduk bersama Tara dan Aqim di ruang tamu.

"Kalian kenapa ke rumah gue? Kalau ada apa-apa 'kan bisa hubungin gue, gak usah sampai datang ke sini." Bukan maksud Mayra untuk mengusir, hanya saja dia merasa was-was karena takut diketahui oleh papanya. Bisa saja kejadian dulu terulang kembali. Tapi jangan sampai.

"Emangnya kenapa kalau kita kemari? Lagian udah lama kenal, tapi lo gak pernah nyuruh kita datang ke rumah lo," jawab Tara.

"Um ... Gak kenapa-kenapa sih. Btw, kalian tahu darimana rumah gue?" Selidik Mayra. Ia sangat yakin tidak pernah memberitahukan alamat rumahnya pada siapapun, kecuali Kak Tara.

"Gue diajak Hendra ke sini. Dia yang tahu rumah lo," ujar Aqim santai. Tara mendelik tajam ke Aqim. Enak saja mengatakan bahwa ia yang mengajak Aqim ke sini, yang ada dialah yang diseret paksa oleh Aqim.


Mayra menanti jawaban dari bibir Tara. "Gue pernah ikutin lo diam-diam," jawabnya pelan. Ia teringat kembali dengan Kak Tara yang mencium hangat kening Mayra.

Mayra terkesiap. "Kapan?"

"Disaat lo untuk pertama kali bertemu dengan Kak Tara lo itu." Mayra berusaha mengingat kembali kejadian waktu itu. Dan berhasil membuat matanya membulat. Apa Tara melihat semua perlakuan Kak Tara padanya? Semoga saja tidak. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.

"Lo kenal sama Tara? Tara sepupu gue 'kan?" Tara memberikan anggukan kepada Aqim.

"Wah gak nyangka gue," kata Aqim takjub.

"Tap-"

"NON ... obat Non udah mau habis, Mbok pergi beli du-"

"E-eh ada tamu ya," kikuk Mbok Asri.

Mayra mendesah pasrah karena teriakan Mbok Asri yang terbilang nyaring. Ia pun mempersilahkan Mbok Asri untuk pergi.

"Obat? Lo sakit?"

"Gak, gue gak sakit."

Tara meneliti wajah cantik itu, memang tidak terlihat seperti orang yang sedang sakit. "Jadi, obat yang dimaksud itu obat apa?"

Mayra bingung ingin menjawab bagaimana. Ia berdiri dan lekas pergi ke dapur. "Gue buatin kalian air minum dulu."

Setelah perginya Mayra, Aqim memulai spekulasi-spekulasinya. "Obat apaan ya, Dra? Dari muka sih dia gak kenapa-kenapa. Atau ... jangan-jangan ..." Aqim shock sendiri.

"Jangan-jangan apa?" tanya Tara yang jadi deg-degan karena Aqim.

Aqim mendekatkan wajahnya dan berbisik. "Jangan-jangan Mayra itu gila."

Plak

"Aduh, kok lo mukul gue sih?" kata aqim tak terima.

"Siapa suruh ngomong sembarangan." Tara marah ketika gadis yang dicintainya dikatakan gila. Tapi tak bisa dipungkiri ia jadi berpikiran Mayra adalah orang gila. Apalagi mengingat Mayra yang biasa berpakaian aneh. Tara menggeleng-gelengkan kepalanya.

"AWW ..."

Mendengar pekikan dari arah dapur, Tara dan juga Aqim bergegas pergi ke dapur. Terlihat Mayra yang sedang berjongkok seraya mengelus punggung tangannya.

"Bodoh." Tara menarik tangan Mayra ke wastafel. Ia menyingsing sweater yang dikenakan Mayra dan berhasil membuatnya terkejut melihat lebam yang terpampang jelas di sepanjang lengan Mayra. Aqim juga tak kalah terkejut melihatnya. Mayra melihat ekor mata Tara yang memandangi lengannya. Ia segera menurunkan lengan sweater-nya, tapi ditahan oleh Tara.

"Sebenarnya lo kenapa?" tanya Tara yang sedikit membentak dengan raut wajah khawatir.

Mayra menunduk, "Lebih baik kalian pulang."

"Gue gak akan pulang sebelum lo ceritain semua yang lo sembunyikan selama ini," jawab tegas Tara.

"Gue gak bisa, Ra," ujar Mayra sembari menatap mata sendu Tara.

"Bahkan ke gue sekali pun?" Tara berharap Mayra ingin berbagi kepedihan bersamanya. Sungguh, ia tak bisa melihat gadisnya tersakiti seperti ini. Mayra sudah cukup tersakiti olehnya.

"Belum saatnya." Mayra menghela napas panjang, menahan semua emosi yang ada di hatinya. "Lebih baik kalian pulang, gue butuh istirahat."

Aqim sedari tadi terdiam. Ia tersenyum sedih memandang kedua temannya itu.

'Gue sudah gak punya kesempatan lagi. Semua sudah jelas bagi gue.' Batin Aqim.

"Kita pulang sekarang, Dra. Dia butuh waktu buat sendiri," ajak Aqim untuk segera pergi.

Mereka berdua pergi meninggalkan Mayra untuk sendiri. Tara sebenarnya sangat khawatir dengan Mayra, ia ingin tahu apa yang terjadi pada Mayra. Tapi apa daya, Aqim memaksanya untuk pulang. Sesampainya di rumah Tara, mereka berdua berdiskusi mengenai gadis itu.

"Mayra yang selalu memakai jaket dan kaos kaki panjang, apa karena luka-luka itu?"

"Kemungkinan begitu," ujar Tara seraya memijit batang hidungnya.

"Dra, gue punya firasat kalau semua ini ada hubungannya sama bokap dia."

"Apapun itu, kita harus cari tahu semuanya."

*♡*

Keesokan harinya sepulang sekolah, Aqim kembali mendatangi kediaman Kak Tara. Demi mencari tahu semua yang berhubungan dengan Mayra, dan Aqim ingin menyelidikinya dari Kak Tara.

"Gue kemarin pergi ke rumah Mayra."

Kak Tara terdiam menunggu lanjutan ucapan Aqim. Bagaimana bisa Aqim mengetahui rumah Mayra? Tidak mungkin rasanya Mayra mengundang temannya ke rumahnya. Tapi biarlah, itu bukan menjadi masalah utama saat ini.

"Gue ngeliat luka lebam di lengan Mayra." Ucapan Aqim sontak membuat Kak Tara terkejut.

"Lo gak kenapa-kenapa 'kan?" Kak Tara khawatir Aqim bertemu dengan papa Mayra. Mungkin saja kejadiannya dulu terulang kembali.

Aqim tampak bingung dengan respons Kak Tara. Seharusnya ia menanyakan kondisi dari Mayra. Apa Kak Tara tidak khawatir?

"Gue gpp. Memangnya kenapa?"

"Syukurlah."

"Apa ini semua berhubungan dengan bokapnya?"

"Gue gak berhak untuk cerita ke lo. Tanya sendiri ke dia." Kak Tara tahu bahwa Mayra selalu menyembunyikan penderitaannya seorang diri. Bahkan, jika dulu ia tak sengaja melihat adegan kekerasan itu, mungkin saja sampai sekarang Kak Tara tidak tahu masalah itu.

"Dia gak akan mau cerita. Sebaiknya lo cerita sekarang. .. atau lo mau lihat Mayra lebih sakit lagi."

*♡*

Apa selama ini lo menanggung semua sakit itu sendirian? -Mahendra Regantara

***

Maaf telat update





Tak Pernah Berpaling (SUDAH TERBIT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt