16 • Pernyataan

3.1K 465 43
                                    

Senja telah menjemput, peluhnya memenuhi pelipis dengan napas tersenggal. Ia yakin kalau waktunya semakin sedikit ketika rembulan mulai mengangkasa.

Pukul enam tepat di sore hari. Cahaya keemasan matahari diufuk barat menjadi titik kembali sang raja menuju kelasnya. Tak ada yang dia dapat, baik informasi, maupun kehadiran sang gadis.

"Kageyama-kun? Kau belum pulang?" Namanya terpanggil oleh seorang guru. Yoshida Akibara sensei.

Kageyama membungkuk sedikit. "Konbanwa, sensei. Setelah mengambil tas di kelas aku akan pulang."

"Ah, bukankah rumahmu berada di utara Karasuno koukou?" Yoshida kembali bertanya.

Kageyama mengangguk kecil. Matanya menatap tajam namun masih memancarkan kesedihan.

"Apa tidak masalah kalau aku menitipkan seseorang padamu? Rumahnya juga ke arah utara, sepertinya kalian searah." Yoshida menarik seseorang dari dalam UKS.

Kageyama memutuskan melihat siapa yang akan ditemaninya sore ini.

"Ini sudah malam, bahaya untuk para gadis, kan? Aku tidak bisa mengantarnya karena ada rapat panitia lomba festival sastra di gedung balaikota minggu depan. Bisakah, Kageyama?"

Lelaki itu cukup terkejut saat melihat seorang gadis yang ada digenggaman gurunya. "Aku bisa."

***

Kageyama berjalan satu meter di belakang gadis yang dititipkan padanya. Hari sudah gelap, untung ada lampu yang menerangi sepanjang jalan, dan masih banyak orang berlalu lalang.

"Gomen nee, Kageyama-kun. Aku harus merepotkanmu malam ini." Suara kecilnya terdengar di tengah keramaian.

Kageyama hanya berdeham santai. "Gomen, aku bolos latihan."

Gadis pirang di depannya menengokkan kepala sedikit. "Un, daijobu. Pasti melelahkan juga kalau harus terus berlatih."

Kageyama tersentak di tempatnya. "Bu—bukan begitu! Bi—biasanya aku merasa senang saat latihan. Tapi, ada sesuatu yang menghambatku sekarang."

Yachi berhenti berjalan dan menatap Kageyama lembut. "Kau bisa cerita, kok, Kageyama-kun. Anoo... Bukan berarti kau harus cerita padaku, tapi ceritalah pada orang terdekatmu. Orang yang membuatmu nyaman."

"Hah? Aku tidak punya orang seperti itu."

N Y U T ! Seperti serangan mendadak yang diluncurkan Johzenji, dada Kageyama tiba-tiba berdenyut nyeri.

"Yakin tidak ada?" tanya Yachi kemudian. "Rata-rata orang baru menyadari betapa berartinya seseorang ketika keduanya sudah terpisah oleh jarak, baik jarak geografis maupun jarak sosial. Orang-orang itu hanya bisa menyesal dan menangis. Jadi, jangan sampai terjadi padamu, ya, Kageyama-kun."

Sejenak Kageyama diam, dia diam bukan karena tidak mengerti tentang penjelasan Yachi. Dia justru sangat paham.

"Ka—Kageyama-kun!? A—apa penjelasanku terlalu rumit!? A—ano... gampangnya beg—"

"Aku sangat paham, Yachi-san. Arigatou," potong Kageyama cepat yang membuat Yachi menghela napas lega.

"Kalau gitu ayo kita lanjutkan perjalanan! Kita harus mengisi ulang baterai untuk menjalani hidup besok!" Yachi mengangkat sebelah tangannya dan kembali berjalan.

Kageyama menghirup napas dalam dan menghembuskannya perlahan kemudian mengikuti langkah Yachi.

"Kau masih pusing, Yachi-san?"

"Tidak, meski aku merasa sedikit kedinginan."

Dengan sigap Kageyama melepas jaketnya dan menyampirkannya di pundak Yachi. "Harusnya bilang daritadi."

Devil's Smirk | Kageyama Tobio ✔Where stories live. Discover now