10

4.7K 416 2
                                    

"Kamu ... apa?"

Revia kembali bertanya untuk memastikan telinganya tidak salah menangkap apa yang barusan disampaikan oleh Banu. Sementara Banu menunduk sembari menghela napas.

"Iya, Kak. Aku penderita kanker, lebih tepatnya kanker usus besar," ujar Banu sembari menyentuh perut sebelah kanannya. Ia meringis kecil tatkala melakukan hal tersebut.

Diam dan terpaku mengambil alih tubuh Revia. Berita ini benar-benar membuatnya terguncang. Dan entah kenapa, ia tak bisa menahan sayatan kepiluan yang dengan lancang merambati hatinya.

Banu, bocah ingusan yang dulu selalu marah jika komiknya disentuh Revia, bocah yang selalu menjahili Revia, bocah yang dulu sangat Revia sayangi ini, mengidap penyakit mematikan itu?
Revia bingung harus bereaksi seperti apa. Ini membuat kepalanya bagaikan akan pecah. Tidak dapat dipungkiri, ia merasakan kepedihan atas keadaan yang menimpa Banu.

"Penyakit itu, aku baru mengetahuinya beberapa bulan yang lalu." Banu terkekeh, lebih terdengar seperti tawa menyakitkan. "Aku ... aku harus gimana, Kak? Nggak tahu harus ke mana dan harus bagaimana. Aku hanya memberitahu hal ini pada Kakak. Maaf, maaf karena aku harus memberitahu Kakak tentang penyakit ini di tengah hubungan kita yang jauh dari kata baik-baik saja. Aku memang memanfaatkan penyakitku sebagai alasan agar aku bisa bertemu dengan Kakak. Aku tahu bahwa aku adalah pecundang yang tak berguna. Aku hanya ingin sedikit saja mendapatkan maaf dari Kakak. Setidaknya, itu bisa membuat kepergianku tak begitu menyakitkan."

Raut putus asa terpancar dari wajah Banu.

"Karena sejujurnya, aku nggak peduli jika penyakit ini cukup untuk membuatku tiada, tapi yang pasti aku nggak mau pergi begitu saja tanpa mendapatkan maaf dari Kakak. Aku akan jadi roh paling menyedihkan jikalau kanker ini bisa merenggut kehidupanku. Sesungguhnya, aku malu menemui Kakak dalam kondisi terlemahku seperti sekarang. Setiap malam, ketika hendak tidur aku selalu bertanya-tanya, bagaimana di saat aku terlelap, nyawa ini akan sepenuhnya terenggut? Lalu bagaimana caraku meminta maaf pada Kakak saat aku telah meninggalkan dunia? Apa ... apa yang harus aku lakukan?"

Banu menatap kosong Revia. Pancaran penyesalan di wajahnya tergambar jelas. Banu begitu putus asa, seakan tak ada hari esok baginya. Sementara itu, tanpa Revia sadari, dirinya mulai menangis dalam diam. Entah sejak kapan cairan bening ini mulai membentuk anak sungai di pipinya. Pikirannya mendadak kosong.

Menyakitkan melihat orang kita sayangi menangis akibat ulah kita. Maka dari itu, Banu perlahan bangkit dan menarik lembut tangan Kakaknya untuk kembali duduk.

Revia merasa tubuhnya melemas atas apa yang baru saja dia ketahui. Mengapa ia menjadi lemah dalam sekejap? Dia menangis tanpa memedulikan sekitar. Revia menangkup frustrasi wajahnya.

"Jangan nangis, Kak. Tangisan ini membuatku takut semakin berat meninggalkan Kakak. Aku sayang banget sama Kakak dan nggak pengen lagi jadi penyebab cairan bening ini menetes di pipi Kakak. Maafin aku Kak," lirih Banu yang duduk di samping Revia.

"Di-diam kamu," desis Revia tajam. Berbanding terbalik dari ekspresi sedihnya.

Saat ini pikirannya benar-benar kosong. Ia masih begitu terkejut atas pengakuan Banu. Perlahan, rasa bersalah mulai masuk dalam relung hati Revia. Bersalah karena tidak pernah memberikan Banu kesempatan untuk mengutarakan penyesalan dan permintaan maafnya. Dan rasa bersalah Revia kian bertambah ketika mengetahui satu-satunya adik yang ia miliki, ternyata mengidap penyakit mengerikan.

"Satu uang kutahu. Bahwa aku akan baik-baik saja selama Kakak berada di dekatku."

Banu mencoba menenangkan sang Kakak yang mulai sesenggukan dengan mengusap punggung Revia yang bergetar.

Miss Copywriter (✓)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz