17

3.3K 336 3
                                    

Revia rasa dia mati berkali-kali karena ditikam kecanggungan. Menghabiskan satu jam penuh bersama Regan untuk menunggui mobilnya yang sedang diperbaiki sampai tanpa lecet sekalipun, sungguh membuat Revia mati gaya.

Dia yang biasanya selalu antipati pada keberadaan Regan di sekitarnya, tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu mobilnya selesai diperbaiki. Tentu saja dia ditemani Regan yang sejak tadi tidak banyak bicara. Rasanya aneh, tidak biasanya Regan 'sekalem' ini. Revia pikir dia akan mengeluarkan tingkah menyebalkan lagi.

Seraya menyilangkan kaki, lelaki itu sibuk mengecek ponsel, serta sesekali memantau proses perbaikan mobil. Dia tak sekalipun coba mengajak Revia mengobrol.

"Terima kasih, Pak," kata Revia setelah Ramason selesai diperbaiki. Terhitung, itu adalah kata terpanjang yang Revia ucapkan dalam kurun waktu satu jam terakhir.

"My pleasure, Revia," balas Regan. Dia mengangkat satu sudut bibirnya seraya memasukkan tangan ke saku celana.

Setelah semua urusan mobilnya selesai, Revia segera pergi dari tempat tersebut. Sebatas mengucapkan terima kasih sudah cukup, bukan? Ia tidak ingin memperpanjang waktu bersama Regan. Sekalipun tadi Regan tidak banyak bertingkah, entah mengapa tetap saja membuat Revia tidak nyaman.

Dari kaca spion, Revia dapat melihat Regan masih berdiri tegak di tempatnya, memandangi mobilnya yang perlahan-lahan menjauh.

"Itu orang kenapa coba? Bikin nggak nyaman aja," gerutu Revia yang mulai meninggalkan bengkel.

Saat ini, waktu sudah mendekati Isya. Revia bermaksud menepi di masjid terdekat. Perjalanan ke kosnya cukup jauh. Namun, sebelum itu dia harus mencari pengganjal perut. Mungkin roti coklat dengan teh hangat, bisa dijadikan pilihan yang tepat. Ia berharap masih ada warung yang buka. Dan entah Dewi Fortuna tengah berpihak padanya, dalam radius tiga meter Revia mendapati warung yang masih buka.

"Bu, permisi, di sini jual teh anget tidak?" tanya Revia saat mobilnya menepi.

"Yah, maaf Mbak. Di sini nggak jual teh, adanya camilan kecil sama rokok, tapi di sebelah sana ada kafe. Mbaknya tinggal jalan lurus aja dari sini," ucap sang penjual ramah.

"Ohh gitu, ya, Bu? Kalau gitu saja ke sana aja. Makasih infonya, Bu."

"Iya, Mbak."

Sebenarnya Revia belum terlalu familiar dengan jalanan di sini. Jika tidak salah kira, dia baru dua kali melewati tempat ini. Semoga saja ia tidak lupa arah ke kosnya.

Perutnya harus segera diisi sebab ia tidak mau asam lambungnya naik. Mengikuti instruksi Ibu tadi, mobil Revia ia arahkan ke tempat yang di maksud. Benar saja, kafe yang bernama Onde's Mine itu tampak ramai. Segera saja dia menepikan Ramason dan masuk ke dalam kafe. Revia menempatkan diri tepat di samping dinding yang terbuat dari kaca. Beberapa saat kemudian, pramuniaga menghampirinya.

"Permisi, mau pesan apa, Kak?"

"Emm, di sini menu andalannya apa?"

"Di sini menu yang paling disukai pengunjung adalah Choco onde's with hot chocolate. Selain itu kami juga baru saja mengeluarkan menu baru, Kak, Onde's strawbery lava."

"Boleh, saya pesen dua menu itu, ya."

"Baik, Kak. Mohon tunggu sebentar."

Miss Copywriter (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang