20

3.5K 310 1
                                    

"Iya-iya. Sabar dong, Fa, gue anter sambal sama abon dulu baru ke kantor. Gak bakalan telat beneran. Suer deh."

Dengan ponsel yang terjepit di antara bahu dan telinganya, Revia tergesa-gesa menata dagangannya dalam keranjang.

"Lo janji nggak bakalan telat, Vi. Inget, bikin first impression yang baik sama bos baru. Please, jangan kayak kemaren-kemaren."

"Iya janji. Duh, lo masih mau ngomong? Gue lagi ribet, nih."

"Vi, abon dong satu, buat makan siang. Gue bawa nasi deh dari rumah."

Tatkala Rifa mengubah arah obrolan, Edrea berdecih. "Rampok lo!"

"Ya, 'kan sekali doang."

"Gigi lo sekali! Udah ah, pokoknya lo kudu bayar. Nggak ada gratis-gratis."

Rifa mengdengkus. "Pelit! Cepetan ke kantor. Jangan coba-coba telat."

"Iyaaa. Bawel lo ah. Dah, gue matiin."

Sambungan telepon segera Revia matikan. Tangannya gesit mengangkat sambal serta abon yang selesai ia packing untuk dititipkan pada toko Kang Baba. Pintu kos segera ia kunci. Revia melangkah keluar dari area kos seraya menenteng dagangannya.

"Kang, abonnya lima terus sambelnya tujuh. Maaf, saya nggak sempet bikin banyak soalnya di kantor lagi sibuk-sibuknya." Bungkusan yang Revia bawa segera ia angsurkan pada Kang Baba.

"Nggak apa-apa, Dek Via. Sambal sama abonmu cepet banget ludesnya. Soalnya ada pembeli tetap. Itu loh, yang dulu saya bilang. Dia kalau ke toko pasti langsung borong semua dagangan kamu. Katanya, nggak afdol kalau makan nggak make sambal sama abon yang dia beli dari sini." Pria yang sudah ia anggap seperti Kakaknya itu bercerita dengan binar semangat.

"Oh ya? Emang dia siapa, sih, Kang?"

"Itu loh, laki-laki yang rumahnya di ujung kompleks. Yang rumahnya besar terus punya mobil mahal. Memang pendatang baru di sini. Saya sampai iri sama orang itu, tapi di sisi lain saya juga kagum, soalnya dia nggak sombong. Buktinya dia nggak malu beli makanan di sini. Biasa 'kan kalau orang-orang kaya, seringnya beli di restoran. Eh dia malah jadi pelanggan tetap warung saya. Pembawaannya juga ramah."

Revia dibuat makin penasaran akan sosok pria yang diucapkan Kang Baba. "Siapa, sih, dia? Saya jadi makin penasaran, nih, Kang."

"Duh, saya belum sempat nanyain nama dia siapa. Lupa terus. Soalnya tiap beli di sini, Ibu-ibu kompleks sering ngerusuh. Tiba-tiba mereka bakal bolak-balik ke warung buat liat orang itu," ucap Kang Baba menggaruk kepalanya.

"Oke deh, Kang. Aku mah seneng-seneng aja kalau ada pelanggan tetap. Eh, aku ke kantor dulu, ya, Kang. Buru-buru, soalnya ada penyambutan bos baru."

"Waduh, saya malah ngajak ngerumpi. Maaf-maaf." Kang Baba menggaruk belakang kepalanya lagi, ia meringis malu.

Revia hanya terkekeh dan menunjukkan gestur jari ‘Oke’ pada Kang Baba seraya berlalu. Ponselnya sedari tadi tidak berhenti berdering, tanda ada yang menelepon. Siapa lagi kalau bukan Rifa yang semenjak subuh, gencar mengingatkannya agar jangan sampai terlambat karena Creative Department akhirnya kedatangan bos baru.

Entah Revia harus senang atau tidak, karena dari info yang santer terdengar, bos baru kali ini tetap perempuan. Ia hanya berharap jika pemimpin barunya, akan menjadi bos kesayangan yang memiliki hati bak malaikat. Tidak seperti yang kemarin.

Miss Copywriter (✓)Where stories live. Discover now