14

3.6K 359 2
                                    

"Habis ini mau ke mana, Dek Vi?"

Revia yang sudah menyelesaikan sesi sarapan, lekas berdiri dan mengangsurkan uang untuk membayar nasi kuning yang telah ia santap pada Kang Baba. Ini hari Minggu, itu artinya dia bisa rehat dari pekerjaannya.

"Mau ke pasar, nih, Kang. Beli bahan buat daganganku. Udah nggak ada lagi stoknya."

"Makasih, ya, Dek," ucap kang Baba setelah menerima uang pemberian Revia. "Wah, iya juga. Saya hampir lupa, abon sama sambal kamu akhir-akhir ini cepet banget lakunya."

"Oh, ya? Biasanya tiap aku nyetok lagi, sering tersisa beberapa. Wih! Bener, itu aku lihat di etalase kok udah habis aja." Revia menerbitkan senyum lebar setelah mendapati dagangannya ludes terjual.

"Ada yang sering beli. Laki-laki, Dek, tapi saya nggak tahu namanya siapa. Akhir-akhir ini sering belanja di sini juga. Penduduk baru kayaknya."

Revia mengangguk. Siapa pun itu, yang jelas dia senang karena dagangannya laku.

"Menurut Kang Baba, aku harus nambah jumlah dagangan nggak kalau mau nyetok lagi?"

"Boleh juga. Lebih baik kamu nambah aja, soalnya cepet banget habisnya," usul laki-laki yang sudah Revia anggap sebagai Kakaknya itu.

"Siap! Kalau gitu aku pamit dulu. Mau langsung ke pasar, Kang."

"Iya, hati-hati bawa Ramasonnya."

Tanpa berlama-lama lagi, Revia mulai mengendarai mobil butut kesayangan yang dia dapat dari gaji setelah bekerja beberapa bulan di Parama Advertising.

Tiba di pasar, ia bergegas menyusuri tempat yang sangat ramai itu. Dia menyambangi pedagang rempah hingga ke penjual ikan yang sudah sering dikunjunginya. Sesekali Revia coba untuk menawar, tapi dia malah berakhir memasang wajah masam sebab para penjual dengan enteng mengatakan wajah Revia tidak seperti orang yang kekurangan uang sehingga perlu meminta potongan harga.

"Pak Zakir bisa aja. Iya deh, wajah saya emang kayak orang berduit. Cantik lagi, ya 'kan, Pak?" ucap Revia percaya diri. "Tapi aslinya nggak gitu kok. Saya sobat missqueen, cicilan banyak, hidup sebatang kara lagi, Pak. Ayo dong, ikan tunanya dua, saya bayar tiga puluh ribu deh. Dari dulu Bapak nggak pernah terima kalau saya nawar."

Di tempatnya berdiri, Pak Zakir selaku penjual ikan, megap-megap mendengar tawaran yang Revia ajukan.

Gadis di hadapannya ini memang sangat keterlaluan. Selalu saja begini jika Revia berhenti di tempatnya. Tanpa rasa bersalah selalu memberikan penawaran yang menyebabkan kepalanya berdenyut sakit. Harga satu ekor ikan tuna saja lima puluh lima ribu. Lalu bagaimana bisa Revia menawar dengan harga yang tidak masuk akal seperti yang dia ajukan? Anak muda satu ini sungguh luar biasa.

"Mbak Revia, jujur saja, Mbak mau bikin saya gulung tikar, 'kan?" sungut Pak Zakir. "Masa tiap beli di sini Mbak ngasih penawaran yang nggak masuk akal kayak gitu? Bisa-bisa saya nggak jualan ikan lagi dong."

Revia terkekeh. Dia suka sekali mengusili Pak Zakir sebab pria paru baya ini juga sering mengusilinya sejak dulu.

"Ah, Pak Zakir nggak asik. Tiap saya nawar nggak pernah dikasih."

"Ya habis mau gimana lagi? Mbak nawarnya nggak kira-kira gitu. Besok-besok saya ogah jualan ikan kalau tipe pembelinya kayak Mbak. Mau ternak ulat bulu aja," rajuk Pak Zakir cemberut.

Ucapan pria baya itu sontak membuat Revia dan beberapa pembeli ikan di sekitar mereka tergelak puas. Momen seperti inilah yang Revia sukai ketika pergi ke pasar. Dia senang bisa mengenal banyak orang dan bercengkrama dengan mereka.

Miss Copywriter (✓)Onde as histórias ganham vida. Descobre agora