27

3.7K 363 27
                                    

Tangan kanan Revia hanya bisa mengusap pundak Banu sejak tadi. Sedang sebelahnya lagi digenggam erat oleh tangan Banu yang seakan membeku. Saat tiba beberapa menit yang lalu, Revia tidak bertanya apa pun. Dia hanya diam mendampingi sang adik.

Revia enggan bertanya ketika melihat gurat suram begitu terpancar dari wajah Banu. Setelah ia tiba, Banu memeluk dan menggenggam tangan Revia yang bergetar. Adiknya itu mungkin juga tahu bahwa di sini, bukan hanya dia dan Ayah mereka saja yang kacau. Revia pun sama.

Di lain sisi, Joseph duduk di depan Revia dan Banu, saling berhadapan di kursi tunggu seberang. Pria paruh baya itu sejak tadi diam. Hanya dapat menunduk lemah tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan, ketika Revia sampai saja, Joseph tetap bergeming. Revia sangsi jika kedatangannya disadari atau tidak.

"Nu, sudah makan?" tanya Revia dan langsung dijawab Banu dengan gelengan pelan.

"Oh emm ... i–itu, Ayah?" imbuh Revia begitu pelan sampai-sampai menimbulkan kernyit bingung di dahi Banu karena tak menangkap jelas kata-kata Revia. Baru setelah melihat lirikan mata sang Kakak yang mengarah pada Ayah mereka, Banu memberikan gelengan lemah.

"Kalau gitu Kakak beli makanan dulu," putus Revia setelahnya, tapi belum juga ia berdiri, tangan Banu mencegat pergerakannya.

"Kenapa?"

"Nggak usah, Kak. Aku sama Ayah nggak lapar. Kakak jangan ke mana-mana, temenin kami. Asisten pribadi Ayah yang bakal urus itu nanti."

Revia mengangguk mahfum dan tidak membantah. Dia menuruti perkataan Banu. Situasi saat ini begitu hening, mereka duduk di depan ruang ICU di mana Revo sedang mempertaruhkan hidupnya di dalam sana.

"Nu, Bunda di mana?" tanya Revia kikuk.

"Beberapa menit lalu, Bunda sudah dipindahin ke ruang perawatan. Bunda memang belum siuman, tapi kata dokter udah nggak apa-apa. Sekarang dijagain sama tante Alyana sama Sinta. Keluarga kita yang lain mungkin dalam perjalanan ke sini juga. Kakak mau nengokin Bunda?"

Revia tertarik dengan usulan itu, tapi setelahnya ia menggeleng. Masih belum siap melakukan hal apa pun yang saat ini terasa begitu ganjil baginya. Sudah berada di sini saja, ia merasa telah lancang karena melanggar janjinya dulu.

Banu tersenyum melihat gelengan tersebut. Ia tak akan memaksa jika Kakaknya sudah beraksi demimian. Setelahnya, ia merebahkan kepalanya di pundak sang Kakak. Rasanya begitu nyaman dan menenangkan.

Di tengah keheningan, ponsel Joseph tiba-tiba berdering. Ia menerima panggilan itu dengan raut wajah yang begitu kusut.

"Batalkan. Batalkan semua janji temu dan jangan hubungi saya untuk beberapa waktu ke depan. Kamu saya tugaskan menghendel pekerjaan saya untuk sementara waktu," titah Joseph tegas.

Panggilan dari sekretarisnya itu kemudian ia matikan. Ponselnya diletakkan begitu saja di kursi sampingnya. Revia melihat jelas sekacau apa seorang Joseph Aritama. Raut sedih, putus asa, dan ketakutan berusaha keras Joseph tutupi. Berupaya untuk tetap tenang dan terkendali meski itu sia-sia. Tanpa sadar, Revia mengeluarkan dengkusan kecil.

Sok kuat. Imbuh Revia dalam hati.

Kira-kira sebanyak apa dosa yang akan dia dapatkan karena bersikap demikian? Entah kenapa ia menjadi sebal ketika melihat raut sok kuat Ayahnya. Pasalnya, raut tersebut sama persis seperti dahulu ketika Joseph memberikan ultimatum mengerikan padanya.

Miss Copywriter (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang