33

4.3K 353 13
                                    

Saat ini Revia duduk di teras samping rumahnya-kediaman Aritama. Di depannya terdapat kolam renang yang tenang tanpa riak. Ia duduk sendirian bertemankan hening. Mereka semua sengaja memberikan waktu pada Revia untuk berpikir. Sejak tangisnya berhenti, dia tetap diam bak orang linglung, enggan memberi tanggapan hingga Joseph dan yang lain meninggalkan Revia agar dapat mencerna kebenaran yang sudah mereka sampaikan.

Mereka tahu bahwa Revia benar-benar syok akibat fakta yang baru saja ia ketahui. Lagi pula, siapa yang tidak akan bereaksi demikian saat tahu hidupnya lama terlarut dalam kesakitan dan kekecewaan hanya gara-gara alasan sesepele itu?

Sungguh konyol, ini semua sangat konyol!

Tiga jam lamanya Revia duduk di atas sofa rotan yang dulu selalu ia tempati ketika berjemur. Dan kini, ia bisa merasakan bokongnya kebas, tapi Revia tidak peduli. Sejak tadi pikirannya benar-benar bekerja keras, memikirkan langkah apa yang akan ia ambil setelahnya. Langkah yang ia pikirkan matang-matang.

Tiga tahun lamanya ia terjebak dalam jurang kepedihan hanya karena kekonyolan yang diciptakan oleh keluarganya. Revia tak tahu lagi harus membalas mereka dengan cara seperti apa. Ia buntu. Namun, setelah puas berteriak, melepaskan kekecewaan dalam dekapan Ayahnya, akhirnya ganjalan yang bertahun-tahun menggerogoti batinnya terbebas.

"Lo nggak bakal nyesel, Vi. Apa yang akan lo pilih adalah pilihan yang tepat. Lagi pula, ini 'kan yang lo mau? Setelah semua kesakitan yang lo dapat, lo berhak bahagia dengan cara lo sendiri," gumam Revia mensugesti diri.

Ya, dia berhak mengambil keputusannya sendiri. Dan dia akan bahagia dengan caranya sendiri.

"Lo pantas bahagia karena lo udah cukup jauh melangkah. Dan sekarang, rehat adalah pilihan yang harus lo ambil."

***

"Gue nggak terima! Lo nggak bisa kayak gini! Demi Tuhan gue nggak ridho, gue nggak terima!"

"I don't care! Terserah, ini yang gue pilih dan lo nggak berhak atas itu!"

Bentakan yang saling bersahut-sahutan menyebar sampai ke sudut-sudut rumah berlantai dua ini. Dua manusia yang saling menyalak itu menjadi tontonan bagi semua orang yang tengah duduk di ruang tamu. Tidak terhitung sudah berapa kali kedua orang itu saling melempar bentakan dan teriakan yang memekakkan telinga. Sedang yang lain, hanya bisa mendesah pasrah. Tak ada yang mau melerai, lebih tepatnya mereka terlalu letih meladeni aksi saling membentak tersebut.

"Terus lo pikir gue peduli gitu dengan larangan lo?"

"Arghh! Sini nggak lo! Sini! Leher lo mo gue patahin!"

"Resi! Tika! Diam napa, sih?! Nggak sadar apa kalau kelakuan kalian childish banget?! Malu sama umur!"

Orang yang membentak itu tidak lain adalah Elma. Dia muak melihat aksi saling membentak dua sahabatnya.

"Dia yang duluan. Udah gue bilang ini punya gue. Resi tuh, dateng-dateng main rebut aja. Ya gue nggak terima dong," ujar Tika berusaha membela diri.

"Heh! Jelas-jelas ini gue duluan yang pesan sama si Koko. Lo tuh yang main ngaku-ngaku aja."

Melihat lawannya memeletkan lidah dengan raut menjengkelkan, membuat amarah Tika naik sampai ke ubun-ubun. Resi benar-benar menyebalkan!

Miss Copywriter (✓)Where stories live. Discover now