Reuni SMA

44.9K 3K 168
                                    

Bianca

Aku berjalan memasuki ballrom hotel berbintang lima ini sambil menatap kesana kemari mencari keberadaan teman-teman lamaku. Gaun hitam bling-bling membalut tubuhku dengan sempurna.

Gaun ini terkesan elegant namun sedikit seksi karena walaupun panjang. Belahannya mencapai setengah paha dengan punggung yang terbuka. Rambutku disanggul dengan bentuk modern sehingga terlihat dengan jelas leher jenjangku.

"Bian..." aku menoleh ke sumber suara. Disana teman-temanku sudah berkumpul dan semua kini sedang menatap kearahku.

Dengan wajah berbinar bahagia aku segera berjalan cepat menghampiri teman-teman lamaku. "Apa kabar Bian?" hanya teman-teman SMA ku yang memanggilku dengan sebutan Bian. Bukan Bianca. Aku memeluk satu persatu dari mereka dan mencium pipi kanan dan kiri semuanya tanpa terkecuali.

"Apa kabar Bian?" Grace kembali bertanya padaku saat aku selesai mencium mereka satu persatu.

"Seperti yang kalian lihat. Masih seperti Bian yang dulu kok." Cengiranku tak pernah lepas. Rasanya rindu sekali masa-masa SMA. Masa putih abu-abu yang indah. "Bedanya Bian yang sekarang sudah dewasa dan lebih seksi." aku mengedipkan sebelah mataku. Mereka semua tergelak mendengar ucapanku. Dulu aku memang selalu menjadi sorotan saat bersama teman-temanku.

"Lo belum ketemu sama Bara?" salah satu temanku bernama Tania bertanya. Aku mengernyit. "Itu si culun teman sekelas kita dulu. Lo gak tau ya kabar dia?" aku terdiam sejenak. Ingatanku tidak seburuk itu sebenarnya. Tapi entah kenapa aku lupa dengan orang yang disebut Tania.

"Kabar apa?" aku masih berfikir teman SMA ku yang culun itu. Namun sesaat kemudian ingat karena yang culun cuma satu orang. Laki-laki yang dulu suka digoda olehku.

"Dia sekarang jadi lebih tampan. Lo tau gak, dia udah gak culun lagi. Dan sekarang tubuh yang dulu kurus jadi testpack." Semuanya  tertawa mendengar ucapan Sarah. Yang selalu berbicara namun sengaja dibuat salah.

"Apa sih lo ngomong aja masih gak pernah bener. Dari dulu sampe sekarang. Kapan gedenya coba."

"Gue udah gede keles. Lo gak tau nih dada udah kaya melon gini, ukuran jumbo tai. Lagian dewasa itu bukan dari ucapan. Tapi dari tindakan." dia kembali menyebut kata dengan salah karena menyebut Tau menjadi Tai. Memang dasar Sarah itu, unik.

"Ucapan itu cerminan kedewasaan bego!" aku berkata sebal. Sarah itu memang begitu selalu nyolot padahal sudah tau salah. Cocok sekali dengan profesinya sebagai pengacara yang selalu suka berdebat saat di pengadilan.

"Eh guys itu Bara dateng. Aduh pegangin gue. Gue meleleh ya ampun ganteng banget woy, makhluk tuhan paling seksi ini mah." Tania berteriak histeris saat seseorang yang tadi kami bicarakan melangkah ke arah kami.

Aku tertegun. Benar kata Tania dia sangat tampan. Dulu diwajahnya bertengger kacamata hitam tebal yang sesekali melorot sampai keujung hidung, tapi sekarang dia sudah tidak memakai kacamata lagi. Dulu tubuh itu kurus dan lembek. Sekarang walaupun dia memakai jas formal. Terlihat jelas bahwa dibalik jas tersebut ada lengan kekar yang bersembunyi, apabila dipegang pasti sangat keras.

Dunia seakan berhenti saat dia berjalan dengan santai dan mantap. Ini laki-laki yang dulu sering sekali aku goda karena kepolosan dan keculunannya. Ini laki-laki yang dulu selalu menundukan kepalanya tak pernah berani menatap lawan bicaranya.

"Hai semua." Bara datang dan berhenti tepat disampingku.

"Uh yang ditunggu dari tadi datang juga. Lo lama banget sih Bar. Eh Bar lo masih inget gak sama Bianca?"

Akhirnya mata itu menatapku. Sesaat dia terdiam.
"Masih ingat kok."

"Hai Bar apa kabar?" tanyaku pelan. Namun sedetik kemudian tersadar. Kenapa aku malah jadi salting dan jaga image begini. Biasanya kan genit apalagi melihat Bara.

"Sangat baik." balasnya santai.

Wajah itu sangat cool namun santai, entah mengapa semua berbeda sekarang. Sungguh mata itu dulu tak pernah menatapku lebih dari 1 detik. Dia pasti akan memalingkan wajah.

Apa dia akan tetap diam setelah ku goda? Boleh di coba nih kayaknya. "Kamu udah tampan nih sekarang. Dan aku cantik. Jadi kapan nih kamu mau halalin aku?" tanyaku dengan cengiran khasku. Semua teman-temanku hanya tertawa karena sudah terbiasa. Sejak dulu aku memang selalu suka menggoda Bara. Karena dia adalah satu-satunya laki-laki paling culun di kelas kami. Dengan sikapnya yang pemalu dan pendiam. Wajahnya akan merah padam apabila sedang kugoda.

Dia tersenyum lebar. Oh gais, Bara benar-benar tersenyum lebar saat ini. Aku malah tidak percaya kalau ini adalah Bara yang dulu teman SMA culunku.

"Gak berubah ya Bian." Suara itu? Duh terdengar sangat serak dan matang. Dan juga sangat seksi. Masa aku horny hanya karena mendengar suara dia sih? Demi tuhan kenapa sekarang aku malah terdengar seperti wanita murahan gini ya. Padahal kan dulu udah biasa?

"Gimana mau berubah kalau kamu tampan gini." aku masih melakukan serangan pada Bara, gak mau kalah telak walaupun kini dia sudah tidak culun lagi seperti dulu.

Aku masih menampilkan senyum menawan dan cengiran sumringah andalanku. Tidak mau dia tau bahwa saat ini. Aku benar-benar sangat gugup dibuatnya.

"Kamu juga cantik." aduh. Aku jadi pusing mendengar ucapan Bara. Sejak kapan dia berubah begini. Kenapa aku bahkan baru tau sekarang.

"Mungkin aku adalah tulang rusuk kamu yang hilang . Kamu mau gak melengkapi tulang rusuk kamu yang hilang?"  aku kembali menyerang dengan gentar, tak akan menyerah. Aku gak akan mungkin kalah. Dulu dia akan pergi terbirit-birit karena malu dengan godaanku.

Bukannya pergi terbirit-birit, dia malah maju melangkah ke arahku. Aku terdiam menatap wajahnya yang kini menelitiku. Dia mengusap bahuku yang terbuka. Dan reaksi tubuhku benar-benar aneh. Aku merasa seperti darahku berhenti mengalir. Pun aku merasa Stiletto yang aku pakai sudah tidak dapat menahan bobot tubuhku saat aku mendengar ucapan Bara.

"Kamu siap gak jadi tulang rusukku? Aku siap jadi tulang punggung buat kamu?"

Asvydkeuyfsidi.. Anjir!!!!

"Mampus lo."

"Syukurin."

"Sial kok keren banget."

"Ah kok manis sih."

Aku masih bisa mendengar teman-temanku berbisik dengan keras. Saat dulu aku mempermalukan Bara. Sekarang, dia benar-benar membuatku malu. Ayolah Bianca! kemana Bianca yang dulu adalah primadona sekolah yang dipuja banyak laki-laki. Ayo berfikir!

"Mau banget ih. Aku gak sabar nungguin kamu datang kerumah. Kalo laki-laki tuh jangan cuma ngomong aja. Tapi bertindak." aku sedikit ragu dengan ucapanku. Kenapa aku malah nantangin dia sih sekarang. Sedetik kemudian aku benar-benar menyesali ucapanku.

"Kamu beneran?" cicitnya sambil kembali melangkah lebih dekat kearahku.

Aku kembali melemah melihat sorot mata yang kini menatapku tajam. Jangan bilang dia seriusan?

"Gimana Bian? Kamu mau beneran? Kalau kamu mau aku bisa mengajak kedua orang tuaku untuk melamar kamu malam ini juga."

What the fuck!!!! Kok dia bener-bener serius sih?

Aku hanya bisa memejamkan mataku karena malu dan saat ini tubuhku menegang dan darahku berdesir hebat. Sial! Bara yang dulu kini benar-benar berubah menjadi laki-laki dewasa. Lelaki matang yang akan siap melamar gadis manapun tanpa memohon. Karena semua gadis akan datang dengan sendirinya menyodorkan diri. Tapi aku berbeda, aku tidak akan kalah dan menyerahkan diriku padanya.

Akhirnya aku menyerah menggodanya. Demi tuhan aku gak akan mau lagi menggoda laki-laki. Aku bersumpah pada diriku sendiri. Kalau aku gak akan menggoda Bara lagi. Rasanya aku menggigil mengingat bahwa, bisa saja dia melakukan serangan yang lebih besar hingga aku tidak dapat menopang tubuhku lebih lama lagi disini. Aku akan ambruk dibuatnya.

"Aku ke toilet dulu." aku segera berjalan tergesa menuju toilat dan memejamkan mataku sesaat mendengar gelak tawa dari semua teman-temanku. Sial!Sial! Sial. Aku kalah telak. Mati aku.

***

To be continue....

12 Juli 2019
Eka Safrianti...

Trapped In Marriage (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang