Si Perusak Suasana

24.8K 1.6K 27
                                    

Kalau orang-orang bilang, bahagia itu adalah ketika orang yang kita cintai membalas cinta yang kita beri, maka berbeda denganku. Aku sendiri bingung, awalnya aku meneguhkan tekatku. Untuk membuat Bara mengurungkan niatnya untuk menikahi aku.

Tapi sayangnya kini aku terjerat pada pesonanya. Ketika pagi-pagi sekali dia sudah datang kerumahku. Duduk manis dimeja makan bersama kedua orang tuaku. Aku terjerat pada cara dia memperlakukan aku dan keluargaku, pada cara dia menatapku. Entah kenapa itu sangat berbeda saat dia menatap wanita lain diluar sana dengan wajah datarnya.

Dan pada cara dia tersenyum untukku.

Mungkin, aku kini meyakini. Bahwa dia juga merasakan hal yang sama pada apa yang sedang aku rasakan padanya.

"Selamat pagi." Sapaku ikut bergabung bersama Bara dan kedua orang tuaku.

"Pagi bi."

"Pagi dek." mama dan papa menyapa bersamaan. Aku duduk di bangku sebelah Bara, melirik dia yang pagi ini sudah rapi dengan setelan jas mahal miliknya, tampannya tak pernah berkurang walau dia sedang makan, tidur atau mungkin saat dia sedang buang air besar sekalipun.

Lalu aku menyendok nasi goreng yang terlihat sangat lezat dimeja makan. Nasi goreng milik Bara sudah tinggal setengah. Sedangkan papa dan mama sudah lebih dulu selesai makan.

"Dedek mau bawa burger?" aku mengangguk sambil menguyah.

Mama berdiri lalu mempersiapkan kotak bekal untukku. "Mama bawain 4 ya. Untuk Bara 2."Jawab mama sambil meletakkan disamping tanganku.

Aku memberengut. "Kenapa Bara dibawain juga?"

"Dek, kenapa panggilnya Bara? Padahal kemarin sudah bagus panggil 'Mas'." Papa menasehati. Aku hanya tersenyum masam mendengar ucapan papa. Tak mau menjawab karena aku tau akhirnya aku harus menurut maunya papa.

Tak lama papa berpamitan untuk pergi lebih dulu kekantor. Karena papa memang selalu datang pagi-pagi kekantornya.

Tinggallah aku dan Bara di meja makan karena mama juga sudah berpamitan menuju taman belakang rumah. Menemui tanaman-tanaman yang sudah mama anggap sebagai anaknya sendiri.

Mereka memang sepertinya memberikan kami kesempatan untuk berduaan.

"Hari ini kenapa jemput? Bukannya kamu sudah belikan mobil untukku?"

"Saya mau pergi kekantor bareng kamu."

"Aku bisa pergi sendiri Bar."

"Bi, mulailah terbiasa dengan kehadiran saya." Ujarnya masih sambil menyeruput teh hangat yang tadi dibuatkan mama. "Dan lebih dulu ada dimeja makan, menyiapkan makan untuk saya. Kamu mau kan?"

"Kata kamu, kamu gak cari pembantu. Tapi istri? Kamu lupa?"

Dia tersenyum samar. "Saya lebih suka dilayani istri saya sendiri untuk hal sarapan, makan dan semua keperluan pribadi." kenapa aku mikirnya aneh-aneh ya?

"Kalau begitu aku juga mau sesuatu."

"Apa?"

Dicintai kamu seumur hidup.

"Aku masih mau kerja dikantor setelah menikah."

Bara mengangguk. Lalu mengusap rambutku. "Boleh bi. Asal kamu bisa jaga sikap kamu dikantor. Karena kamu adalah istri saya. Semua hal menyangkut kamu adalah tanggung jawab saya."

Aku mengangguk. "Setuju."

"Sebenarnya saya lebih suka kamu berada dirumah saja mengurus anak-anak kita. Tapi karena ini permintaan kamu, saya gak akan maksa. Mungkin sebelum saya hadir dihidup kamu, kamu sudah terbiasa bekerja. Saya tidak mau membatasi gerak tubuh kamu. Asal semua kewajiban kamu sebagai istri tetap kamu jalanlan."

Trapped In Marriage (COMPLETED)Where stories live. Discover now