Prolog

6.6K 516 63
                                    

•×•×•

Pernikahan.

Siapa yang tidak menginginkan adanya sebuah pernikahan, yang di isi dengan sebuah perasaan saling suka dia antara kedua mempelai. Berjanji sehidup semati, saling mencintai selama-lamanya sampai akhir hidup.

Bukankah itu terdengar indah?

Mungkin kedengarannya begitu sederhana, membayangkan hal yang selalu di impikan menjadi nyata, menikah dengan seseorang yang di cintai. Memiliki buah hati cinta mereka dan membesarkannya bersama-sama. Saling mengasihi, saling mempercayai, saling menyayangi dan mencintai.

Tapi sayangnya itu hanyalah sebuah angan, disini tidak ada kata saling mengasihi, mempercayai, menyayangi atau bahkan mencintai. Lebih tepatnya, tidak ada cinta yang bersemayam di hati pasangannya.

Hatinya sakit mengetahui bahwa hanya dia sendiri yang mencintainya. Mencintainya dengan setulus hati tanpa memandang status dan derajat orang itu.

Selama ini hanya perih yang bisa ia rasakan, memandang jenuh ruang lingkup yang membuatnya semakin menjauh dengan orang itu.

Apa yang bisa ia lakukan sekarang?

Apakah harus berhenti di tengah jalan, sementara perjuangannya masih panjang. Atau haruskah dia membelah dadanya dan memperlihatkan bahwa hatinya yang berwarna karena cinta itu telah tertusuk ribuan duri.

Siapa yang melakukan? Ya, siapa yang menyakitimu? Siapa yang menyakiti hatimu?

Siapa saja tolong cabut duri-duri ini dalam hatinya yang terasa sakit, penuh sesak hingga akhirnya ia mau mati saja.

Butiran airmata semakin deras, dan menjadi sebuah aliran deras yang mampu melunturkan wajah cantiknya. Dia bahkan tak peduli, setelah berjam-jam duduk di kursi rias hanya untuk bisa terlihat cantik di hadapan mempelai pria.

Begitu banyak tisu yang terbuang percuma, bahkan dia tak mampu lagi berdiri dari kursinya. Tubuhnya begitu lemas, seolah dirinya sudah menyerah terhadap pria yang ia cintai selama kurang lebih 10 tahun.

10 tahun.

Ya, kau tahu kan 10 tahun itu berapa lama?

Sangat lama sampai akhirnya dia bisa paham tentang segala sesuatunya. Paham tentang segala kebiasaannya, mulai dari hal yang tidak dia suka sampai hal yang dia suka.

"Hal yang tidak dia suka, adalah aku."

"Hal yang paling dia suka, adalah tentang cinta pertamanya."

•×•×•

Lonceng gereja berbunyi, aku bisa mendengar suara dentingannya yang begitu nyaring. Aku berhenti pada tangisku yang tadi kian semakin gila. Aku menyudahi semuanya, merapikan lagi tatanan rambutku yang sedikit berantakan. Meskipun aku sudah tak peduli lagi dengan riasan di wajahku yang sudah menipis akibat ulahku yang telah memudarkannya dengan air mata.

Waktuku telah menanti, pengantin priaku sudah menanti disana. Meskipun aku cukup tahu bahwa pernikahan ini bukan didasari karena cinta. Tapi bagiku, bisa menikah dengannya saja sudah cukup.

Memang terdengar bodoh dan gila. Tapi disini aku tak berbicara tentang hal bodoh yang sudah kulakukan. Aku akan berbicara bagaimana aku mencintainya dengan setulus hati, tidak peduli ribuan kali ia menolak perasaanku dan membuangnya seolah tidak berarti.

Aku masih ingat bagaimana ucapannya beberapa waktu lalu, sebelum aku menghancurkan riasanku sendiri.

"Anggap saja aku sedang sial karena menikah denganmu."

Touch Your Heart ☑Where stories live. Discover now