16. Siapa Dave?

7.7K 312 16
                                    

"Hati ini terasa terbakar mendengar kau menyebut nama orang lain penuh kasih sayang." (Azka)

Azka berjalan menuju pintu rumah sambil menggendong Dira ala bridal style. Ya, Azka memutuskan untuk membawa Dira ke rumahnya terlebih dahulu dan merawatnya... mungkin? Hatinya bergejolak tak rela jika membawa Dira pulang ke rumahnya. Sebut saja Azka egois karena mementingkan dirinya sendiri, tapi dia ingin egois hanya untuk menuruti keinginan hatinya kali ini.

"Assalamualaikum, Bun." Azka sedikit berteriak di depan pintu rumah yang masih tertutup. Bisa saja dia membukanya, tapi tangannya sangat sulit karena digunakan untuk menggendong Dira.

Pintu rumah terbuka dan menampilkan sosok wanita yang masih terlihat awet muda yang tersenyum menyambut kepulangan Azka. "Wa'alaikumsalam, Azka."

Tatapan Mila, wanita itu beralih pada sosok yang digendong Azka. "Loh, ini siapa Az?" Antara terkejut dan juga senang, Mila menatap Azka menuntut penjelasan. Mila terkejut melihat Azka membawa gadis untuk pertama kalinya ke rumah mereka. Dan senang karena dapat dilihat Azka tidak merasa jijik ataupun mual saat menggendong gadis itu, kemungkinan Azka akan sembuh dari penyakitnya.

Azka terlihat salah tingkah melihat tatapan menggoda Mila padanya. Rona merah samar-samar bahkan terbit di pipinya. "Itu Bun, ceritanya panjang. Tapi yang pasti, gadis ini tanggung jawab Azka. Azka yang udah membuatnya tidak sadarkan diri sampai sekarang karena banyak mengkonsumsi obat tidur." Tatapan menggoda dari Mila tergantikan dengan rasa khawatir.

"Bawa teman kamu ke atas, bunda akan telepon dokter supaya ke sini secepatnya." Azka mengangguk patuh dan membawa Dira ke kamarnya yang berada di lantai 1 rumahnya.

Azka membaringkan Dira di kasur kamarnya dan menyelimutinya. Azka duduk di tepi ranjang sambil menatap intens Dira yang masih menutup matanya. Tangannya terulur untuk mengelus kelopak mata Dira yang masih setia tertutup. Jantung Azka terasa diremas, dia merasa khawatir akan kondisi Dira.

"Kapan mata tajam ini akan terbuka lagi?"

*****

"Dari hasil pemeriksaan, dia mengalami over dosis tingkat ringan. Saya awalnya tidak menyangka bahwa pasien hanya mengalami over dosis ringan setelah mengkonsumsi satu botol sekaligus obat tidur. Tapi, saya salut dengan daya tahan tubuhnya yang kuat. Kemungkinan dia hanya akan mengalami demam tinggi nanti malam. Jangan lupa untuk mengompresnya supaya demamnya bisa mereda." Dokter yang memeriksa Dira menjelaskan dengan panjang lebar. Azka dan Mila mendengarkannya dengan baik.

"Oh iya, berikan obat ini jika dia sudah sadar. Ini hanya obat untuk meredakan rasa pusingnya ketika dia sudah sadar." Dokter itu memberikan Azka beberapa butir obat.

"Kapan dia akan sadar, Dok?" Azka yang sedari tadi diam mulai membuka suara.

"Saya tidak tahu pasti, tapi paling lama 2 sampai 3 hari." Azka menghela nafas berat, dia tidak sabar ingin melihat Dira membuka matanya kembali.

"Baik. Terima kasih, Dok." Mila mengantarkan dokter tersebut keluar rumah dan Azka kembali memasuki kamarnya.

Di kasurnya yang biasa dia tiduri terdapat sosok yang terbaring lemah dengan wajahnya yang mulai memucat. Azka duduk di lantai, tangannya menggenggam tangan Dira yang terbebas dari infus.

"Gue gak mau bohong, tapi gue merasa khawatir melihat lo dalam kondisi seperti ini, Dira. Kalau lo sadar, mungkin lo akan ketawa setelah mendengar perkataan gue barusan. Tapi, lo sekarang gak lagi sadar 'kan? Jadi, gue bebas ngeluarin isi hati gue selama ini." Azka menarik nafasnya sejenak, tangan yang satunya terkepal kuat menahan rasa sakit yang menyerang ulu hatinya.

"Awal pertemuan kita memang dibilang gak enak banget. Kita dipertemukan kembali di kelas yang sama. Lo mungkin kesal sama gue yang udah semena-mena mencium lo saat di lapangan waktu itu. Tapi, gue juga gak nyangka apa yang udah gue lakuin sama lo. Gue bahkan gak merasa jijik sama lo, penyakit gue seolah-seolah hilang ketika gue berada di dekat lo." Azka menarik nafasnya sejenak untuk mengambil oksigen karena dadanya terasa terbakar terlalu banyak berbicara.

"Gue benci penyakit yang gue miliki dan gue benci sama diri gue sendiri karena sampai sekarang terjebak dengan penyakit yang menyiksa ini, Dira. Gue gak mau terus-terusan begini. Cuma lo yang bisa bantu gue sembuh dari penyakit ini. Jadi, mulai sekarang lo milik gue."

*****

Malam harinya Azka terbangun ketika merasakan tangan yang digenggamnya terasa menyengat. Mata Azka seketika terbuka lebar, tangannya menyentuh kening Dira. Azka mendesis ketika merasakan suhu yang terlampau sangat panas menyengat tangannya. Tubuh Dira bahkan menggigil, bibirnya pucat pasi dan juga bergetar.

Azka mengambil beberapa selimut yang ada di lemarinya dan menyelimuti tubuh Dira supaya tidak kedinginan. Azka keluar dari kamar dan kembali dengan membawa sebaskom air dingin untuk mengompres Dira berharap suhu tubuh Dira kembali normal. Dengan telaten Azka mencelupkan kain ke dalam baskom tersebut dan memerasnya.

Kain tersebut dia taruh di kening Dira, Azka berbalik berniat mengambil beberapa selimut lagi untuk Dira yang masih saja menggigil. Gerakannya terhenti ketika telinganya menangkap gumaman disertai isakan kecil.

"Dave... Hikss..." Tubuh Azka mematung mendengar nama pria yang disebutkan oleh Dira.

"Dave... Jangan tinggalkan aku hikss..." Tangan Azka terkepal kuat, hatinya terasa panas mendengar gadisnya menyebut nama laki-laki lain. Gadisnya, ya dia menganggap Dira sebagai gadisnya, miliknya seorang.

"A-aku mencintaimu Dave hikss... Jangan pergi hikss..."

Cukup! Darah Azka terasa mendidih mendengar itu! Tubuh Azka berbalik dan menatap Dira yang berbaring dengan gelisah sambil terisak dan terus saja menggumamkan satu nama yang membuat Azka semakin terbakar.

"Cukup! Jangan sebut nama pria itu lagi!" Azka menggeram marah, giginya bergemelatuk. Tangannya menggenggam tangan Dira dan sedikit meremasnya membuat kerutan tercetak di kening Dira.

Ajaib! Setelah Azka mengucapkan itu Dira berhenti terisak dan tidak menggumamkan nama Dave lagi. Tapi, hal itu belum bisa membuat Azka bernafas lega karena tubuh Dira terus saja menggigil. Azka mengerang frustasi, dia sudah menyelimuti Dira dengan beberapa selimut tebal, dia bahkan sudah kehabisan selimut tapi belum bisa membuat Dira tidak menggigil lagi.

Hanya ada satu cara yang kemungkinan bisa membuat Dira tidak menggigil lagi. Tapi itu cukup berisiko jikalau nanti Dira terbangun. Tapi, Azka harus mencobanya.

"Oke, gak ada pilihan lain."

Azka mulai menaiki sisi kasur yang kosong dan mulai masuk ke dalam selimut yang menutupi tubuh Dira. Tangan Azka merengkuh tubuh mungil Dira yang terendam selimut berusaha memberikan kehangatan lewat pelukannya. Dira merespon Azka dengan membalas pelukannya dan berusaha mencari posisi ternyamannya dipelukan Azka.

Beberapa menit dalam posisi seperti itu, Dira masihlah dalam kondisi yang sama. Azka mengerang putus asa, dia akhirnya dia membuka kaos yang dia pakai dan memperlihatkan perut kotak-kotaknya. Azka kembali memeluk Dira, sebenarnya Azka sedikit merasa gugup dalam posisi sedekat ini dengan Dira. Dira membalas pelukan Azka dengan erat secara tidak sadar.

Tubuh Azka menegang merasakan itu, tangannya menggenggam tangan Dira, dia menyelipkan jemarinya disela-sela jari Dira. Azka mulai menguap dan akhirnya tertidur dengan posisi seperti itu. Mereka tertidur dengan saling memberikan kehangatan masing-masing tanpa tahu apa yang akan terjadi hari esok.

TBC__

Bagaimana perasaan kalian setelah membaca part di atas?😂

Queen Of Mafia (Pindah Ke Webnovel)Where stories live. Discover now