42. Diusir Lagi

162 7 0
                                    

Happy reading :*

Enjoy, typo bertaburan :*

***

Hati ini terlalu banyak disakiti
Hati ini terlalu rapuh,
sehingga aku tak tahu bagaimana cara menyembuhkannya
Andai kau tahu...
Banyak sekali luka yang kau berikan untukku
Banyak harapan yang aku harapkan selama ini
Semuanya lenyap seketika,
Hanya oleh satu hal, 'tak direstui'
Dua kata tapi maknanya sangat menyakitkan
Kita memang ditakdirkan untuk bertemu,
tapi sepertinya Tuhan tidak mengizinkan kita untuk bersatu.

Sudah tiga hari aku mengurung di kamar. Hidup ini terasa hampa, tak bersemangat. Tak ada gunanya lagi untuk hidup pun.  Harus kah aku mati biar tenang?

EAAAK!

Sampai saat ini Arnold masih belum sadar, Tante Rina menghubungiku tadi. Arnold belum ada perubahan sama sekali. Malahan sekian hari kondisinya pun semakin memburuk. Mendengar itu pun ingin rasanya aku pergi ke rumah sakit, tapi apalah daya Oma Ani terus saja mengusirku.

Tok tok tok

Suara pintu diketuk. Aku tidak tahu siapa pelakunya. Aku masih terdiam menatap kosong ke luar jendela.

Cklek!

Pintu kamar pun terbuka. Padahal kamar ini sudah aku kunci. Ah mungkin Bi Iyem punya kunci cadangan, sepertinya.

“Fiya, sekarang lo makan ya!” Fani menghampiriku.

“Lo udah tiga hari gak makan nasi, cuma air putih doang. Lo harus makan biar lo gak sakit.” Tyra dan Fani merangkulku untuk duduk di ranjang.

Fani mengarahkan satu sendok nasi ke depan mulutku yang masih tertutup. “Aaaa!”
 
Aku hanya menatap lurus saja. Enggan membuka mulut.

Tyra menepuk bahuku pelan. “Lo harus makan Fiya! Kita gak mau lo sakit. Apalagi Bokap lo udah nitipin ke kita. Please, lo harus makan ya!” bujuk Tyra.

“Bahkan Arnold sampai saat ini gak makan apa pun,” gumamku pelan.

“Fiya, liat gue!” kedua tangan Tyra disimpan di bahuku.  “Cukup, lo jangan menghukum diri lo sendiri! Ini udah takdir. Bukan salah lo atau siapa pun.”

“Bener kata Tyra, Fiya. Ini semuanya bukan salah lo, apalagi lo gak tahu apa-apa kan tentang kejadian itu.”

“Tapi Oma nyalahin gue terus Ra, Fan.” Aku menutup wajah yang sudah berair dengan kedua tangan.

“Sekarang kamu udah puas hah, cucu saya celaka!”

“Maksud Oma?”

“Kamu masih gak mau ngaku hah! Gara-gara kamu cucu saya begini! Saya udah bilang sama kamu jangan pernah deketin cucu saya lagi! Kamu tuli hah?!”

“Shafiya gak ngerti maksud Oma, apa?”

“Beraninya kamu sama saya!”

Plak!

“Mama!” ucap Om Rian dengan suara meninggi.

“Cukup Ma. Ini semua bukan salah Shafiya. Shafiya-Nya juga gak tahu apa-apa. Cukup Ma jangan nyalahin orang lagi. Ini takdir Ma.”

“Kamu ngebelain anak gak sopan santun ini?!”

Kejadian tiga hari yang lalu masih tersimpan di memoriku.  Rasa sakit itu masih ada ada di hatiku dan juga tamparan di pipi kananku, bahkan sampai saat ini pun tamparan itu masih sangat terasa sekali.
 
Segitunya Oma benci sama gue?

Pergi Untuk Kembali [Completed] ✔️Where stories live. Discover now