9. Pena penawar luka

50.4K 8.9K 3.1K
                                    

Jika saja pagi itu, Hyura tak mengecek keadaan putri bungsunya maka itu akan menjadi penyesalan yang amat dalam untuknya. Untungnya, saat ia menemukan Sherly pingsan di atas bath-up kamar mandi, ia masih bisa merasakan napas anak itu dan detak jantung Sherly.

"Sulit mengekspresikan emosi, ini biasa terjadi jika anak anda tidak bisa melampiaskan emosinya maka dia akan beralih." Jeda, dokter paruh baya berjas putih melangkah lalu menarik lembut tangan kiri Sherly memperrlihatkan lengan hingga pergelangan tangan gadis itu yang dipenuhi plester dengan warna senada dengan kulit.

"Untuk menyakiti dirinya sendiri," lanjut Dokter itu membuat Hyura menutup mulut kemudian menggeleng, menolak untuk percaya.

Dokter itu kembali menambahkan, "dan ketika dia sudah berhasil melukai fisiknya, dia akan merasa lega karena emosi-emosi yang tak bisa ia salurkan menjadi tersalurkan. Ini biasa disebut self-harm."

"Enggak! Sherly enggak mungkin begitu," bantahnya panik. Air mata tak berhenti bercucuran setelah Sherly ia temukan pingsan.

Saga mendekat lalu mengambil pisau di lantai. "Itu mungkin, Ma."

Saga mengangkat pisau itu kemudian mencari benda tajam lainnya di lemari sang adik. Ia hanya menemukan botol kecil berisi pil obat tidur di dalam laci.

Saga memejamkan mata lalu mengepalkan tangan. "Dia tertekan, Ma."

Dokter yang menangani Sherly mengangguk lalu mengangkat tasnya kemudian berjalan ke ambang pintu dimana Dion berdiri dengan tubuh mematung di sana.

"Berikan putrimu kehangatan," kata Dokter itu sembari menepuk-nepuk bahu Dion.

Apa benar Sherly melukai dirinya sendiri? Dion dan Saga mengikuti Dokter itu keluar kamar meninggalkan Hyura yang tak berhenti mencium punggung tangan sang anak.

Beberapa menit setelah kepergian Dokter, Saga dan Dion. Sherly sadar dari pingsannya, menatap Hyura dengan mata berkaca-kaca.

"Dengar Sayang," kata Hyura. Tangan kananya bergerak mengusak rambut Sherly dengan lembut. Hyura membubuhi gadis itu kecupan di kening sebagai tanda kasih sayangnya.

"Kamu lihat Elina?" tanya Hyura membuat Sherly meremat selimut yang ia pakai dengan tenaga yang ia punya.

"Dia udah gak punya siapa-siapa, dia gak punya Kakak pun orang tua seperti kamu tapi dia gak pernah berpikir sebagaimana kamu berpikir," ujar Hyura membuat air mata mengalir deras di pipi Sherly.

Hyura mengusap air mata Sherly lalu mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Mama gak mau punya anak yang lemah. Itu sebabnya kamu harus belajar kuat dari Elina."

Sherly terisak hebat sembari mendorong kasar Ibunya menjauh dari tubuhnya.

Saat Hyura memilih meninggalkan sang putri, ia berpapasan dengan Elina yang masuk ke kamar Sherly. Ia diam di depan pintu kamar putrinya itu.

Di dalam, Elina mendekati Sherly dengan sedikit mengulas senyum kecil.

"Kamu gak papa 'kan?" tanya Elina lirih.

"Ini semua gara-gara kamu. Puas kamu?" tanya Sherly balik.

Elina memejamkan mata kuat. "Gimana bisa kamu nyalahin aku atas ketidakberdayaan yang kamu punya? Masalah yang kamu buat sendiri?"

Maka perkataan Elina barusan membuat apa yang selama ini Sherly tahan pecah saat itu juga.

"KAMU NGEREBUT SEMUANYA. AKU GAK AKAN PERNAH MAU JADI KAMU, KAMU AMBIL KAKAK DAN ORANG TUAKU! KAMU PEREBUT, KAMU PENGHANCUR KEBAHAGIAAN! PERGII!"

TITIK TERENDAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang