40. Lembar baru

40.4K 6.6K 2K
                                    

Semilir angin berhembus amat kencang menerbangkan rambut orang-orang yang hatinya tengah diselimuti duka itu.

Duka atas kepergian orang yang berarti untuk mereka. Seseorang yang pergi karena terbunuh kata-kata yang lebih tajam dari pisau, lebih mematikan dari racun. Seseorang yang memilih pergi jauh karena tidak kuat terus hidup di atas ketidakberdayaannya mencintai dirinya sendiri.

Laki-laki dengan kemeja hitam dan kaca mata hitam tersenyum kemudian merangkul bahu temannya yang terduduk diam menatap pusara di depannya.

"Lo kuat, Ga," kata Kenzo membuat Saga bangkit, menatap garang sembari menepis tangan Kenzo kasar. "Apaan sih, lo!"

Saga menghela kasar sembari memilih berlalu dari hadapan pusara itu, berupaya keras menyembunyikan kesendihannya yang kentara. Ia kemudian terkejut saat tangannya dicekal oleh tangan seseorang.

Zemira menatap Saga sendu. "Kamu kuat."

"Apaan sih kalian!" bentak Saga menghapus kasar air matanya, Zemira pikir Saga pasti teringat adiknya. Saga sendiri memilih mempercepat langkahnya meninggalkan Zemira dan Kenzo di depan makam. Makam seseorang yang membuat kita belajar, kalau dengan kata-kata kita tanpa sadar bisa berpeluang besar menjadi seorang pembunuh.

"Lo yang tenang, ya. Lo gak bakal kesakitan lagi karena ucapan mereka," ucap Kenzo mengelus batu nisan bertuliskan "Sintia Adhiwidya' itu.

Kenzo kemudian menatap langit, membayangkan entah sedang apa pemilik hatinya kini. "Kita menatap langit yang sama, dekat di hati tapi tetap aja aku rindu senyummu. Cepet kembali kupu-kupu."

Di sisi lain setelah pulang dari pemakaman, Saga tersenyum melihat beberapa tanaman bunga tumbuh indah di halaman depan rumahnya.

"Cantik, ya," ujar Zemira membuatnya mendapat tatapan dingin dari Saga.

Zemira memajukan bibirnya beberapa centi. "Sampai kapan kamu dingin sama aku? Wong Sherly aja udah maafin aku kok."

"Iya dimaafin," kata Saga kemudian mendekatkan wajahnya pada wajah Zemira yang sontak menahan napas. "Tapi yang namanya luka di hati akan tetep membekas."

Memajukan tubuhnya membuat Zemira memundurkan langkah karena merasa terpojok sementara Saga terus menghujam tepat ulu hatinya dengan tatapan luar biasa tajam. "Selamanya."

Zemira menundukkan kepala saat Saga memasuki rumah dan membanting pintu. Meninggalkannya sendirian di luar, mengingat semua prilakunya yang membuatnya menyesal sampai kini. Ia menghela napas, setiap orang punya kesalahan tetapi mengapa Saga

terus memandangnya sebagai luka meski ia sudah berubah.

Setelah kepergian Sherly, laki-laki itu semakin tertutup dan menjauhinya. Namun, Zemira tak pernah menyerah. Ia terus berusaha mengisi hari-hari Saga yang merindukan adiknya. Mencoba menjadi penenang saat pikiran buruk menghampiri Saga tentang kondisi adiknya.

Meskipun Saga membentak, mengusir, dan menganggapnya tak ada, Zemira hanya tersenyum. Ia pantas mendapatkannya. Namun, untuk menjauh dari Saga merupakan sesuatu yang tak mungkin bisa Zemira lakukan. Tatapan matanya hanya tertuju untuk Saga begitupun cintanya.

Sama seperti Saga, Samuel pun begitu. Ia memutuskan kontak dengan Gracia. Tak ingin terlibat apapun dengan gadis yang menyakiti adiknya. Meski berulang kali, Gracia meminta maaf dan memohon tetapi ia sudah menutup hati.

TITIK TERENDAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang