34. Titik terendah

45.8K 7.3K 1.7K
                                    

Kenzo berlari memasuki sebuah gedung tua yang kata Gracia tempat sang ibu disekap. Laki-laki itu menoleh ke kanan dan ke kiri sembari terus berteriak, "Mama!"

Kenzo memeriksa satu persatu ruangan kosong tetapi tak menemukan apa-apa sampai langkahnya terhenti saat mendengar suara teriakan kesakitan.

"Akhh!"

Laki-laki itu segera berlari ke arah sumber suara menjadikan tubuhnya lemas melihat Ibunya bersimbah darah dengan mata mengerjap lemah terikat di bangku sembari menatap kedatanganya dengan mata sayu. "Ka-mu da-teng, N-nak?"

Menangis membuat hati Kenzo teriris. Wanita itu berkata, "Ma-ma u-dah ga-k kuat la-gi."

"Mama!"

Kenzo terbangun dengan napas terengah-engah. Mimpi itu benar-benar terasa nyata, mimpi itu seolah menunjukkan kalau Kenzo tak selamanya harus diam saja. Ibunya dalam bahaya.

Kenzo tidak bisa. Ia harus mengambil keputusan. Apapun itu ia harus bersikap tegas, cintanya pada Sherly dan baktinya pada wanita yang melahirkannya menjadi pertaruhan. Mengambil ponsel di saku, ia menelpon orang yang memintanya membuat sebuah pilihan.

Kenzo berdiri di depan jendela kamarnya dengan tatapan kosong, ia sengaja tak masuk sekolah hari ini.

Sambungan telpon tersambung. Suara Sekar terdengar menyapa indra pendengarannya dan suara tangisan Ibunya.

"Lo," tekan Kenzo dengan tangan terkepal kuat. "Jangan ngapa-ngapain nyokap gue."

"Sesuai perjanjian. Bawa Sherly kemari."

Kenzo memejamkan mata. "Kalau gue bawa dia nemuin lo, apa yang bakal lo lakuin?

"Menyelesaikan apa yang sudah seharusnya terselesaikan."

"Apa!" bentak Kenzo. Tak ada jawaban membuat Kenzo mengusap kasar rambutnya. "Oke," lirihnya. "Kirim lokasinya sekarang sama gue. Sherly gue bawa buat lo."

Di tempat lain, Sherly berjalan seorang diri di jalanan sepi. Setelah mencari Kakaknya di rumah sakit dan Apartement laki-laki itu, Sherly tak menemukan apa-apa. Semesta ikut menangis melihat keadaannya kini.

Hujan turun begitu deras membersihkan semua kotoran yang menempel di wajah dan tubuhnya yang sekarang menuntun sepedanya sembari berjalan si jalanan yang lumayan sepi itu.

"Kak Sam," lirihnya pilu menahan sesak di dada. "Kak Saga, aku lelah."

Sherly benar-benar merasa sendiri, tak mempunyai tempat untuk membagi rasa sakitnya. Luka di hati Sherly tak bisa disembuhkan oleh waktu.

"Kak Sam, Kak Saga." Hanya dua nama yang sekarang ia tak tahu keberadaannya dimana yang sedari tadi terus ia sebut. "Aku butuh kalian."

Perasaan bertahan Sherly seketika kalah oleh rasa sakit di hatinya. Saking sakitnya, ia tak lagi memikirkan bagaimana cara menangani atau menyembuhkan lukanya tetapi bagaimana cara mengakhiri rasa sakitnya. Hanya mengakhirinya.

Kata-kata mereka yang menghinanya terus terngiang. Sampah, gak berguna, kotoran, hidup cuman jadi beban semua orang. Itu semua terus berputar di kepalanya. Sherly mulai merasa seperti itu. Sendiri, tak berdaya dan hanya merepotkan semua orang.

Ia berada di titik dimana ia tak lagi merasa pantas berada di dunia ini. Tak ada lagi tempat untuknya, tak ada seorang pun mau menemani. Ia sendiri memeluk sepi yang perlahan terasa membunuhnya.

"Apa jika aku mati, mereka akan puas?" lirihnya bertanya seorang diri. Ia mencengkram dadanya kuat.

"Apa jika aku mati, aku gak akan merasakan sakit lagi?" isak tangisnya teredam oleh suara hujan dan petir yang bersahutan. "Dan apa jika aku mati, aku gak akan lagi tertekan?"

TITIK TERENDAH Where stories live. Discover now