17. Setiap detik berharga

49.4K 9K 1.7K
                                    

"Aku ke sini datang untuk menghilangkan bukti."

Tepat setelah orang itu berbisik di telinganya, lampu menyala. Sherly melihat orang itu memakai masker hitam dan matanya terlihat panik seraya turun dari ranjangnya dengan tergesa. Sherly mengejarnya sampai orang itu turun melalui tangga.

"Berhenti!" teriak Sherly. Ia terus mengejar orang itu yang berhasil keluar dari pekarangan rumahnya.

Sherly mengedarkan pandangan dengan napas ngos-ngosan. Siapa orang itu?

Ia berjalan di jalanan sepi, mengelilingi komplek perumahannya. Seorang wanita sangat ia kenal terlihat tengah berdebat dengan seorang gadis sekitaran seusia Samuel di ujung Jalan. Sherly mendekati dua orang itu dengan kening berkerut.

"Lepas, lepasin aku, Ma. Mereka semua jahat, mereka menyuruhku mati, lepasin aku, Ma!" isak gadis itu berupaya keras terlepas dari cengkraman wanita paruh baya yang menangis sembari memegang kuat kedua tangan putrinya.

"Bu Widya?" tanya Sherly membuat Bu Widya menatapnya. Karena kedatangan Sherly, Bu Widya menjadi lengah menjadikan gadis yang tadi ia pegang tangannya terlepas dan berlari menjauh.

"SINTIA!" teriak Bu Widya mengejar anaknya. Sherly ikut mengejar dengan bingung.

Sampai saat gadis yang dipanggil Sintia jatuh karena tersandung batu, Sherly segera menangkap tubuh gadis yang lebih tinggi darinya itu. Bu Widya mendekat dengan tangis keras seraya memeluk tubuh putrinya erat yang memberontak.

"Kamu harus inget, Nak. Kamu inget kamu punya Allah, punya Mama yang sayang sama kamu." Bu Widya mengusap peluh anaknya, berkali-kali mencium kening serta seluruh wajah sang anak yang tubuhnya melemas.

Sherly melepaskan tangan dari lengan Sintia kemudian menatap gurunya dengan tatapan yang sulit diartikan.

*

Pukul 9:02 malam, Sherly meninggalkan ponselnya di kamar dan sekarang, ia berada di rumah gurunya.

"Selama masa sekolah, Sintia di-bully teman-temannya. Katanya dia gendutlah, jeleklah, dan miskin." Bu Widya mengusap lembut kepala sang anak yang sudah tenang dan terpejam dengan lembut. "Ibu udah bawa dia ke psikiater, pergi terapi beberapa kali tapi luka itu sudah seperti membekas di hati Sintia."

"Dia jarang bisa tidur, makan tak selera, dan dia kehilangan kepercayaan dirinya. Mereka semua membuat hidup anakku seperti tak ada artinya. Sampai sekarang, mentalnya jatuh, takut ketemu orang asing karena mengira semua orang jahat yang akan menghinanya dan dia beberapa kali mencoba melakukan percobaan bunuh diri," lanjut Bu Widya mengusap kasar air matanya.

Sherly meremat kuat bajunya seolah ikut tenggelam akan rasa sakit yang Sintia rasakan. Dia dan Sintia sama di sini, bedanya Sherly tak di-bully karena fisiknya.

Bu Widya menghembuskan napas panjang sembari bangkit dan pamit keluar kamar Sintia untuk mengambilkan Sherly minum. Tertinggallah Sherly di kamar itu.

Gadis itu duduk di pinggir ranjang Sintia. "Kamu gak sendiri."

Sekeras apapun ia berusaha, kata-kata tajam orang-orang yang sering mencacinya memang akan selalu seperti nyanyian yang mengantarkannya ke jurang kematian. Terus terngiang di kepala membuat tidur tak tenang.

"Kamu tahu? Aku juga berpikir seperti kamu. Jika aku mati, aku berharap mereka yang menyia-nyiakan kehadiranku akan menyesal," lirih Sherly menghapus kasar air matanya. "Tapi aku berpikir lagi, jika aku mati tanpa meninggalkan kenangan yang membuat orang-orang bangga, aku hanya akan terlupakan."

"Aku mulai merangkai tujuan. Aku ingin hidup seperti kupu-kupu. Saat-saat dimana aku bertahan seperti larva yang bagi sebagian orang itu menjijikkan kemudian butuh waktu untuk berubah menjadi kupu-kupu. Terbang bebas kemanapun aku mau, gak ada lagi yang menganggapku menjijikkan itu semua akan berubah menjadi kekaguman orang-orang."

TITIK TERENDAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang