13. Yang sebenarnya

49.4K 9.6K 1.1K
                                    


Pada dasarnya, manusia memang terkadang sering tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Dania hidup penuh kekurangan, setiap bertemu teman-temannya, ia selalu dihantui perasaan iri. Kenapa mereka lebih beruntung? Betapa enaknya hidup seperti Zemira, Sekar, Sherly,  dan Elina. Hanya perlu meminta, barang yang diinginkan langsung terbeli.

Sementara dirinya? Ia harus memaksa, menekan hingga membuat Ibunya yang hanya seorang pembantu rumah tangga menangis hanya untuk memenuhi permintaannya.

Di sekolah, tidak ada yang tahu serunyam apa kehidupannya. Dania menutup rapat-rapat bahkan jika teman-temannya berbicara tentang keluarga, Dania malu mengakuinya. Ayahnya telah meninggal saat ia masih kecil, ia hidup dengan Ibunya yang banting tulang membiayai semua kebutuhannya.

Pintu reot dari rumah sederhananya tiba-tiba terbuka membuat Dania terlonjak kaget dari lamunannya kemudian langsung menoleh ke arah pintu yang tak jauh dari meja makan tempatnya kini. Di sana, Ibunya masuk dengan kantong plastik berwarna hitam. Wanita paruh baya itu bekerja hingga sore. Namun, hari ini entah mengapa ia pulang petang.

"Kamu lapar, Nak." Wanita itu mengambil piring di rak lalu meletakkan satu nasi bungkus di atasnya kemudian menyodorkannya pada Dania.

"Tumben Ibu pulang jam segini," kata Dania sembari memasukkan nasi ke dalam mulutnya.

Terlihat, Ibunya Dania termenung lantas tiba-tiba matanya berubah berkaca-kaca yang tentu saja membuat Dania terkejut. Meskipun ia kerap malu mengakui Ibunya di delan teman-teman. Namun, di hadapan Ibunya Dania tak pernah mau menyakiti wanita itu.

"Anak majikan Ibu," lirih Ibunya Dania mengusap air matanya. "Dia seusia kamu, Nia."

"Kenapa?" tanya Dania sembari meminum air dalam gelas yang Ibunya sodorkan.

"Udah mau malam, tadi dia belum pulang. Ibu takut terjadi sesuatu sama dia, Nak.

Dania mengerutkan dahi, bukankah Ibunya terlalu berlebihan? Dia hendak membalas ucapan Ibunya tetapi urung saat satu pesan masuk dari Sekar.

"Gue punya rencana buat hancurin Sherly."

Dania menghela napas kemudian memilih tak membalas pesan Sekar dan kembali fokus pada Ibunya.

"Dia anak baik, Nia. Meskipun dia tertutup, ngomongnya kadang jutek sama Ibu dan gak pernah senyum, pas Ibu butuh uang waktu kamu marah minta dibeliin HP mahal, dia yang bantuin Ibu." Wanita itu memejamkan mata, mengingat anak majikannya yang selama ini tak pernah perhitungan membantunya.

Sementara Dania menatap Ibunya dengan helaan napas panjang, tak berniat melanjutkan makan. "Bukannya itu berlebihan, Bu? Gimana kalau ternyata dia pergi ke rumah temen atau enggak dia pergi sama pacarnya. Ibu lebay, deh!"

"Dia gak kayak remaja seumurannya, Nia. Kedua orang tuanya sama-sama pembisinis sukses tapi dia?  Dia sangat sederhana, ke sekolah saja dia gak mau naik mobil melainkan malah milih naik sepeda butut. Aneh 'kan?"

Dania terkejut. Sangat aneh. Di saat ia memimpikan kehidupan serba mewah,  ada orang yang justru hidup mewah tetapi memilih tampil sederhana?

Oh astaga ingin sekali Dania bertukar posisi dengan anak majikan Ibunya itu. Lagi lagi saat Dania hendak membalas, ponselnya berdering, Sekar menelponnya tetapi dia malas berbicara hingga memilih menolak panggilan itu. Kemudian tak lama setelah itu, satu pesan masuk dari Sekar.

"Dania tolong gue. Gue khilaf, Dania. Gue bingung mau ngapain. Gue takut, gue panik, gue takut masuk penjara, Dania."

Pesan dari Sekar itu membuat Dania spontan bangkit dari duduknya.

"Nia?"

"Ibu, malam ini kayaknya aku bakal nginep di rumah Sekar. Gak papa kan, Bu?" tanya Dania pelan.

TITIK TERENDAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang