Bab Tiga

9.5K 1.8K 255
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Monica masih terduduk di atas sofa tua pamannya, memikirkan apa yang barusan dikatakan Douglas. Daya imajiner di dalam dirinya memandang seolah ia sebagai tokoh fiksi yang tahu segalanya.Ia berpikir, bagaimana Douglas tahu tentang apa yang disembunyikannya?

Malam itu, pukul sepuluh, Monica sedang menutup tirai jendela kamarnya yang terbuka karena angin kencang. Udara mendingin, badai salju telah datang. Alih-alih menutup tirai, matanya justru berkelana tanpa sengaja ke halaman depan. Di bawah pohon akasia—letaknya sepuluh meter dari ditemukannya jasad Paulus—ayahnya berdiri, membungkuk, kemudian berdiri lagi. Ferdinand melihat ke arah jalan raya yang sepi sebentar, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.

Tak ada kecurigaan apa pun saat itu. Monica hanya berpikir, mungkin saja ayahnya sedang memeriksa sesuatu yang memang harus diselesaikan malam itu juga. Ia pun menutup tirai jendela, mengganjalnya dengan tepi meja belajar agar tidak terhempas angin yang masuk dari jendela sisir kamarnya. Lantas ia membantingkan tubuh di atas kasur, melirik ke arah tempat tidur Felicia yang tampaknya sudah tertidur pulas di balik selimut yang membentuk gundukan panjang seukuran tubuh anak itu.

Monica mengangkat bahu. "Aku tidak tahu apa pun," jawabnya.

Ayahnya, kemungkinan besar, kecurigaan Monica mengarah pada Ferdinand. Ia tidak mau bilang. Tidak mau mengatakan apa pun, mungkin ia akan mencari tahunya sendiri. Sudah ditekankannya betul mengenai itu. Jika pun benar dugaannya, lalu Monica harus berbuat apa? Membiarkan ayah yang dicintainya dipenjara dan dipermalukan bukanlah hal yang patut ia dapatkan. Semesta punya cara tersendiri mengungkap misteri.

Pria tua yang napasnya terdengar seperti dengusan sapi itu meletakkan buku ke atas meja yang tadi sudah dibersihkan Monica. Tangan Douglas beralih pada sebuah rak penyimpanan kaca. Tempat buku-buku antik dan bersejarah tersimpan hati-hati.

"Jadi, polisi belum menemukan bukti apa pun?" tanyanya sembari mengambil buku yang ia peroleh dari acara lelang privasi di London.

Monica menggeleng halus. Tidak bersuara. Anggap saja saat ini ia adalah seorang gadis kecil berusia tujuh tahun yang tidak mengerti apa pun.

"Tapi kau pasti akan segera mengetahuinya," sambung Douglas.

Tentu, jika Monica melaksanakan niatnya untuk mencari tahu sendiri. Namun entah kapan, ia hanya ingin segera memulai pelajaran, tidak sabar berliteratur dalam montase tiada akhir.

Pria tua itu membuka lembar demi lembar buku dengan sangat hati-hati, berdiri di hadapan Monica yang secara refleks menyamakan posisi.

"Kau adalah gadis yang istimewa, Monic. Rasanya sulit mempercayai kalau kau tidak mengetahui apa-apa. Sebab, kau adalah pemilik rasio yang tidak dimiliki oleh siapa pun." Bola mata Douglas naik ke atas melewati tangkai kacamata, mengintip keponakannya yang tidak menggubris kata-katanya kecuali melihat tangannya membolak-balikkan halaman. "Kau tampak tidak sabaran," terkanya. Terlebih saat melihat Monica meremas tangannya sebagai tanda bahwa ia berharap Douglas segera menyerahkan buku itu. "Ini, kau boleh mempelajarinya dulu. Ada catatan mengenai asal mula penyair di secarik kertas pada halaman terpisah. Setelah itu, ceritakan padaku tentangnya. Kau akan masuk materi kemudian."

Pӧlzl  [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now