Bab Tujuh Belas

4.9K 1.1K 174
                                    

Dua hari setelah peristiwa kehilangan yang tragis itu, semua orang yang mencintai Ferdinand berkumpul untuk memberi penghormatan terakhir

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dua hari setelah peristiwa kehilangan yang tragis itu, semua orang yang mencintai Ferdinand berkumpul untuk memberi penghormatan terakhir. Tetangga-tetangga penuh tekad hadir meski beberapa dari mereka berusaha untuk tidak terlalu kentara. Tak terpulang para pekerja pabrik dan pertanian, sahabat, dan sanak saudara.

Pemakaman.

Langit di atas kepala mereka seolah menjadi tungku pemanas untuk orang-orang yang berdiri tanpa berbaris. Meskipun cahaya matahari meredup di balik awan berserabut—di makam yang letaknya berada paling sudut—para pelayat mengenakan seragam lazim berwarna hitam polos. Mereka berdiri mengelilingi gundukan tanah yang baru saja menimbun peti mati ayah tercinta. Kebanyakan para wanita menangis tersedu dengan suara miris tertahan. Tertunduk serempak menekuri pusara.

Kedua tangan Celine memeluk punggung putrinya yang menempel di sisi kanan dan kiri seperti magnet alami. Seolah menunjukkan pada pusara suaminya bahwa merekalah kekuatan terakhirnya untuk bertahan hidup. Lingkaran di kedua matanya menjadi bukti bahwa ia sudah terlalu lelah untuk menangis. Penyesalan, kebodohan, dan pengkhianatan yang baru dua malam lalu ia utarakan seakan menjadi pemicu dirinya berdiri di situ sekarang. Dosa apa suaminya hingga beban yang tertanggung melebihi kapasitas? Kematian yang semula dituduhkan pada diri Ferdinand sendiri, membuat Celine merasa bersalah sepenuhnya. Namun, apa yang dikatakan Mandy Heoglir saat menyampaikan informasi bahwa Ferdinand tidak bunuh diri, Celine belum berani seceroboh itu menuduh kekasih gelapnya.

Entah seperti apa gemuruh di dadanya. Menyadari dirinya masih bisa berdiri memeluk anaknya saja sudah merupakan hal terkuat yang ia upayakan.

Krill menjadi balita penurut di dalam dekapan Callen. Anak itu tidak lagi menangis setelah Monica menceritakan dongeng serta melantunkan nyanyian ringan khusus anak-anak. Tertawa. Krill sempat tertawa ketika peti mati ayahnya mendapat tempat khusus di depan barisan pelayat dalam gereja. Tawanya berkelana di dalam bangunan tinggi. Orang-orang memandangi Krill iba. Callen mendekap anak laki-laki kecil itu merapat ke dada, mendekapnya dalam satu ritme duka.

Satu per satu, para pelayat berbalik arah untuk kembali ke kediaman mereka masing-masing. Di situ, tinggal Celine dan kedua putrinya yang terpeluk; Callen yang sesekali mengelus pundak sang adik bersama Krill di gendongannya; Douglas masih menundukkan wajah dengan tangan lurus di sisi tubuhnya.

Turut hadir Mandy dan Ehrlich untuk menunjukkan penghormatan pada keluarga itu.

"Aku ke mobil duluan."

Mandy tersenyum sekadar saat Ehrlich undur diri lebih dulu. Wajahnya kini menoleh pada Theodore yang merangsek jauh dari sampingnya untuk beralih pada satu gadis yang sedang didamba.

Dengan wajah yang ditenggerkan kacamata hitam bermerek, Theodore meleraikan pelukan Felicia agar gadis itu bersandar padanya. Felicia pun menjatuhkan kepalanya di bahu Theodore. Mengisak. Tanpa kata-kata.

Monica menyeka air mata yang mulai mengendap. Ia berbalik memeluk punggung ibunya dan membujuk, "Ayo, kita pulang, Mom. Kau harus istirahat."

Tangannya yang dingin menggenggam jemari ibunya yang lembap. Tatapan Celine masih terpekur pada sebuah nama di atas batu nisan hitam berbentuk persegi. Kakinya seolah membuat pertahanan statis. Jarinya tergigit. Kemudian, pipi itu kembali terbasahi air mata.

Pӧlzl  [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now