Bab Dua Puluh

4.2K 1.1K 134
                                    

Felicia duduk lama di atas bangku berbusa tipis

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Felicia duduk lama di atas bangku berbusa tipis. Ia membiarkan tubuhnya diam selama hampir dua jam di ruangan yang hanya menyediakan satu meja persegi dan dua bangku yang salah satunya berada di seberang. Kedua tangannya yang masih saling menggandeng karena gelang besi itu ia jatuhkan di atas paha. Wajahnya tertunduk dengan mata sesekali naik ke atas melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya itu bicara.

Tepat di hadapan Felicia, Mandy mengesah untuk kali kedua puluh tiga karena belum juga berhasil membuat gadis itu bersuara. Bahkan untuk sekadar mengangguk atau menggeleng. Mandy benar-benar dihadapkan pada manusia kayu. Frustrasi dan hampir menyerah.

"Oke, Felice ... aku sudah mengajukan tiga puluh poin pertanyaan dan kau belum menjawab satu pun. Bahkan aku sudah mengulangnya dua kali. Akan menjadi lebih mudah jika kau membantuku." Mandy menatap mata Felicia lurus-lurus, tapi ia tidak menemukan keraguan sedikitpun.

Ia malah mendapat tatapan menerawang yang ditujukan ke arah tidak menentu, terkadang membalas hunusan mata Mandy, terkadang setia pada lantai kasar di bawah kakinya. Bagaimana Felicia bisa setenang itu? Ia memiliki telinga normal tapi tidak ingin mendengar, dia punya mulut yang bisa bicara tapi sulit terbuka. Lagi-lagi Mandy berdecak. Berakhir pada pukulan keras di atas meja. Berharap ekspresi Felicia berubah terkejut, tapi nihil. Gertakan itu nirbobot.

"Steve!" panggil Mandy di antara pintu yang sedikit terbuka.

Dari bilik ruangan tidak jauh dengan ruang interogasi, Steve menghampiri Mandy yang bermuka lelah. Dua jam waktu malam dihabiskan wanita itu untuk menggali informasi tapi tidak kunjung membuahkan hasil.

"Sepertinya kau sudah menyerah," kata Steve.

"Carlos, si Jaksa Penuntut Umum itu memintaku menuntaskan penyidikan malam ini. Yang benar saja ...," keluhnya. "Dia sendiri sudah melihat seperti apa gadis itu. Benar-benar kayu."

"Omongan Carlos jangan terlalu diambil pusing. Dia memang suka memaksa semua orang," imbuh Steve.

Mandy menoleh dan melihat punggung Felicia sedikit turun. Tangannya memegang perut. "Anak itu tergolong pintar. Entah dia mengerti soal hukum atau tidak, tapi tampaknya ia mengerti soal hak untuk diam ketika diperiksa."

"Miranda Rule?" tanya Steve.

"Ya, kurasa dia akan tetap diam selama proses pemeriksaan kecuali ada dampingan dari advokat. Meski belum bisa dipastikan ia akan bicara atau tetap diam, kurasa dia tahu beberapa prinsip hukum."

"Bisa jadi dia termasuk anak aneh yang hobiya membaca buku krimina;? Kita lihat apakah dia paham soal prinsip self incrimination?"

"Akan kuberi kau kesempatan untuk itu." Mandy menutup pintu dan kembali ke dalam, setelah sebelumnya memberi titah pada Steve. "Beri dia makanan, Steve ... Aku berpikir mungkin dia sedang kelaparan sehingga tidak mau bicara."

Sepuluh menit kemudian, Steve kembali dengan membawa burger dan air mineral dalam botol. Mereka menyuguhkannya pada Felicia untuk melihat reaksi lain. Masih dengan dua pasang mata yang mengawasi, Mandy tersenyum-senyum sendiri saat kedua tangan Felicia merebut burger itu dan melahap sedikit demi sedikit sampai mulutnya penuh dan pipi menggembung. Gadis itu tidak ubahnya seperti remaja polos yang tidak berdosa.

Pӧlzl  [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now