Bab Sebelas

5.1K 1.3K 177
                                    

Di beranda belakang rumah keluarganya, Felicia dihujani tuduhan yang dilontarkan oleh ayahnya sendiri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di beranda belakang rumah keluarganya, Felicia dihujani tuduhan yang dilontarkan oleh ayahnya sendiri. Bicara sedikit saja ia tidak mampu jika ayahnya terus mendesak dengan kalimat yang sama sekali tidak ia sukai. Remaja seusia Felicia umumnya akan melakukan perlawanan jika mendapat desakan orang tuanya seolah mereka meminta anaknya untuk mengakui apa yang tidak dilakukan.

Tak ada alasan bagi Felicia untuk bicara, jika yang terjadi nantinya toh juga Ferdinand tetap menyalahkannya. Kecuali Ferdinand memintanya dengan cara yang ia sukai, mungkin Felicia akan berubah pikiran.

"Aku tahu apa yang kau rasakan akhir-akhir ini." Ferdinand bicara di depan Felicia dengan kedua tangan yang bergerak mengikuti nada bicaranya. "Mungkin kau hanya membutuhkan teman bicara atau setidaknya seseorang yang bisa kupercaya. Kau memiliki aku. Kau memiliki Mom dan Monica. Kau tidak perlu bicara pada hatimu sendiri jika seharusnya kau bisa menceritakannya pada kami."

Dinginnya malam sudah menggigit persendian tulang sejak tadi. Serangga malam bersuara nyaring di sekeliling mereka. Ferdinand hanya sedang berusaha menahan diri untuk tidak tersulut emosi ketika menatap mata Felicia yang sendu, tidak menunjukkan arti apa pun.

"Felice," sebutnya. Wajah putrinya menengadah, melawan tatapan mata Ferdinand seolah memohon sesuatu.

Itu adalah wajah polos yang mengingatkan Ferdinand saat Felicia masih berumur enam tahun. Ketika mereka berlibur ke pantai saat musim panas, Felicia tidak mau bermain di pantai bersama kakaknya hanya karena Ferdinand tidak mengizinkannya waktu itu. Bukan tidak mengizinkan dengan mengatakan tidak boleh, tapi karena Ferdinand tidak memakaikannya rompi pelampung, itu dianggap Felicia sebagai sebuah isyarat bahwa ia tidak boleh masuk ke dalam air laut.

Apa mungkin ia harus kembali memperlakukan Felicia semanja itu untuk membuat putrinya bicara? Ferdinand sudah memastikan itu berkali-kali dimulai ia membawa putrinya ke beranda belakang. Dengan bentakan dan desakan sekuat apa pun, tampaknya Felicia tetap pada pendiriannya. Bahkan jika dengan ancaman kekerasan sekali pun, tampaknya akan nihil juga.

Ferdinand mengusap wajah sampai matanya melorot ke bawah. Rambut-rambut halus di rahangnya seharusnya tidak tumbuh secepat itu jika saja ia tidak sibuk memikirkan rentetan kejadian janggal akhir-akhir ini. Ia meninggalkan tangan kirinya untuk menopang dagu hingga bibirnya menggelambir. Napasnya terembus kasar. Mereka seperti sedang bermain truth or dare saja saat ini, dan memang itulah yang dibutuhkan Ferdinand. Salah satunya saja pun tidak masalah.

"Kemarilah, Felice." Ferdinand merentangkan kedua tangannya berharap Felicia menyambut tindakan itu. "Boleh aku memelukmu?" Belum ada perubahan ekspresi apa pun dari anak remaja itu bahkan untuk sekadar mengedipkan mata. "Ayolah, Sweety, aku minta maaf karena sudah membentakmu tadi. Emosiku terkadang sulit dikendalikan dan kau tahu aku tidak pernah benar-benar marah padamu."

Bibir Felicia tergigit oleh gigi depannya lantas membenamkannya sedikit. Ada binaran mata yang ditunjukkan Felicia ketika Ferdinand belum bersedia menurunkan rentangan tangannya. Ada beberapa hal di dunia ini yang dapat membuat hatimu meneduh ketika amarah hampir saja menelan mentah-mentah isi kepalamu; salah satunya adalah ungkapan maaf dan pelukan, keduanya ternyata cukup manjur untuk membuat lawan bicara menyerah pada ketakutannya sendiri. Langkah satu-satu yang dilajukan Felicia akhirnya membuat Ferdinand dapat memeluk tubuh kurus putrinya itu. Aroma pohon pinus yang baru saja tersiram hujan merasuk ke dalam indra penciumannya.

Pӧlzl  [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now