Bab Delapan Belas

4.7K 1.1K 206
                                    

SELAMAT MEMBACA

Malam menjadi lebih hening dari sebelumnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Malam menjadi lebih hening dari sebelumnya. Malam ini sudah pasti menjadi sunyi melebihi malam apa pun dalam rotasi hidup Monica. Ia duduk di atas akar gergasi yang menonjol di bawah pohon akasia, tempat biasa ia menyendiri dan menghabiskan waktu membaca buku. Isaac menemaninya di situ. Di depan hamparan padang rumput yang ujungnya menyatu dengan langit.

Monica menunduk resah pada remang wajah yang tersembunyi. Belum ada pembicaraan apa pun sejak ia dan pemuda itu mengasingkan diri. Menunggu satu kata saja mengambang ke udara, Isaac pun akhirnya mengalah.

"Aku minta maaf, aku tidak datang di upacara pemakaman ayahmu tadi," ucap Isaac.

"Tidak apa, aku mengerti." Monica membalas dengan wajah menekur yang belum berubah. "Kau sudah menunjukkannya padaku sekarang. Itu sudah cukup."

Batas senja di depan mata mereka menyisakan segaris horizontal tipis. Bayangan dahan-dahan pohon akasia berusia remaja terlihat seperti arsiran gambar di atas kertas yang ketumpahan anggur merah. Kedua mata Isaac menyipit demi bisa melihat jelas rumah Monica yang tampak mengecil dari sudut pandangnya. Pikirannya berkelana pada perdebatan tadi siang. Tentang keras kepalanya Ivorine yang melarangnya untuk mengikuti upacara pemakaman ayah Monica. Entah kenapa, Isaac justru bersyukur atas insiden itu.

"Aku putus dengan Ivorine," kata Isaac. Wajahnya terangkat menatap langit setengah monokrom, pada awan malu. Kedua tangannya tenggelam di dalam saku bersembunyi, sama halnya pada napas yang mengembun pada cermin tak kasatmata.

Seutas pemahaman tidak tahu harus diungkapkan dengan cara apa. Monica sudah menerka itu sebelumnya, detik di saat ia melihat perdebatan sengit di depan pemakaman. Ia hampir tidak percaya Isaac mengutarakan itu padanya di saat ia sedang tidak ingin mendengar. Monica tidak punya tanggapan.

"Seharusnya aku bisa memberikan penghormatan terakhir pada ayahmu, tapi kecemburuan Ivorine melebihi batas dan ia melarangku keras untuk hadir." Isaac menghela napas, melihat lekat-lekat gadis yang sibuk mencabuti rumput kecil. Ia yakin Monica mendengarkan. "Kupikir, aku tidak perlu mempertahankan hubunganku dengannya. Ayahku tidak sepenuhnya tidak suka padamu. Kau ingat saat pertama kali kau bertemu dengannya? Dia kagum padamu."

"Ya, aku ingat. Ayahmu memintaku untuk berkunjung jika ada waktu."

"Dan dia ingin mendengar kau membacakan syair. Ayahku menyukainya."

Monica hanya tersenyum menanggapi. Yang dikatakan Isaac terdengar seperti upaya untuk merenggut hatinya kembali. Terus terang Monica bimbang. Ia masih ingat betul bagaimana reaksi teman-teman sekolahnya ketika mereka berpacaran, strata yang terlalu jauh membuat hubungan itu terkesan timpang.

Isaac menyentuh sejumput rambut Monica yang menjuntai dan membawanya ke belakang telinga gadis itu. "Hanya satu wanita yang berhak mengisi hatiku. Ia tidak akan pergi ke mana-mana, dan itulah alasanku bisa berada di sini."

Pӧlzl  [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now