Chapter 3

1.8K 228 61
                                    

Authors' POV

Singto mengetuk-ngetukkan jemari tangannya sembari memperhatikan semua staf yang sedang membahas perkembangan perusahaan yang beberapa bulan ini sempat menurun. Sudah dua jam berlalu tetapi hasilnya nihil kesepakatan. Ia mulai jengah dengan kemampuan para stafnya di kantor ini. Maklum saja, sudah lama ia tak terlibat dengan salah satu kantor cabangnya ini. Singto tak paham bagaimana bisa orang-orang kepercayaannya di sini merekrut tenaga kerja yang memiliki kemampuan terlalu dasar.


Ia sendiri heran bagaimana kantor cabangnya ini masih tetap bertahan. Jika dibandingkan dengan semua anak perusahaan yang ia miliki, sepertinya ini kali pertama Singto merasa sedikit gagal sebagai pengusaha sukses. Jika para pesaingnya tahu atau yang lebih parahnya lagi, kalau berita ini sampai ke media, tamatlah sudah karier gemilang yang sudah ia bangun selama beberapa tahun.


"Jika kalian belum juga sepakat, maka rapat akan saya ulang esok hari dan akan terus seperti itu sampai tujuan saya terpenuhi."


Semua karyawan seketika tak bersuara. Bagi mereka ini adalah kali pertama Bos Besar memimpin rapat di kantor mereka. Pria itu hanya datang sesekali untuk memantau perusahaan atau jika sedang ada perayaan khusus saja. Saat rumor Bos Besar akan kembali ke Bangkok dan bekerja di kantor ini, rasa ngeri menyelimuti mereka berhari-hari lamanya. Sampai akhirnya pria itu datang dan benar saja, di hari perdana mereka bertatap muka langsung dengan seorang Singto Parchaya tak ada satu karyawan pun yang berani memandang pria itu terlalu lama.


"Sistem kerja di tempat ini ternyata sangat berantakan. Aku justru heran mengapa perusahaan ini masih bisa bertahan dengan kekacauan yang kalian buat. Kalau aku boleh jujur, perusahaan ini adalah noda bagi perusahaanku yang lain. Jika tak ada perbaikan sama sekali terpaksa aku akan menutup saja tempat ini. Toh bukan aku yang akan merugi tapi kalian semua."


Ia menjeda sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. Raut kekhawatiran dan keterkejutan terlihat di wajah para stafnya.


"Bekerjalah dengan benar dan teratur. Bantu aku untuk mengembalikan kesuksesan perusahaan ini seperti dulu. Aku tak suka memberhentikan seseorang yang bekerja untukku. Jadi jangan pernah membuatku mengambil keputusan yang akan membuat kalian tak memiliki penghasilan."


Kekesalan atas kinerja para staf semakin menambah pening kepalanya. Ia harus segera keluar dari ruangan itu. Singto meninggalkan ruang rapat dengan langkah panjang dan cepat menaiki lift menuju ruang kerjanya. Asisten pribadinya ia biarkan tertinggal jauh di belakang. Singto segera duduk, menyandarkan dirinya di sofa ruang kerja dan memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan diri.


Merasa memejamkan mata saja tak cukup, ia memutuskan untuk merebahkan sejenak tubuhnya di atas sofa sembari melonggarkan dasi. Matanya ia biarkan tertutup rapat walau otaknya tetap dipaksa untuk berpikir.


"Sejujurnya aku lelah, Dean. Menjaga orang yang kaucintai ternyata membuatku lupa jika aku juga butuh beristirahat. Jadi bisakah kauberitahu padanya untuk jangan melarikan diri? Kaudengar aku, kan? Aku sudah tak sanggup, Dean. Tolong buat dia menetap agar aku juga bisa menata hidupku dengan baik.


Empat tahun sudah Singto mengikuti ke mana pun pria itu pergi. Meski ia hanya menjaga dari kejauhan dan memastikan bahwa Krist tetap hidup, Singto bahkan sampai mengabaikan semua urusan pribadinya demi Sang Mercusuar. Seseorang yang memiliki hatinya sampai saat ini. Cintanya pada Dean bukan hanya tak tersampaikan, tetapi juga tak membiarkannya hidup dengan layak. Cintanya terlalu buta tetapi ia tak memperdulikan itu. Jika cahaya Dean adalah Krist, maka ia akan memastikan pria itu tak pernah redup. Ia harus terus membuat Krist bersinar agar di mana pun Dean berada, jalannya tetap akan terang.


M E R C U S U A R [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang