Bab 13: Untitled (III)

196 23 6
                                    

Balas dendam senangnya hanya sementara, sisanya sengsara. Selamat  membaca.

.

.

Noura memperhatikan lautan yang membentang di samping jalur kereta Suncheon-Yeosu. Karena insiden tadi mereka jadi pulang lebih cepat menuju hotel. Padahal masih ada jadwal menuju taman bunga yang hanya jalan kaki 10 menit dari Pantai Basah Suncheon, tapi terpaksa dibatalkan karena situasinya tidak memungkinkan. Mereka takut diusir kembali. Lebih tepatnya, Jimmy yang takut karirnya terancam jika wisatawannya membuat masalah lagi. Untungnya Linna mau mengerti.

"Bu Linna, sebelum ngadain lomba menyeleksi sifat-sifat mereka nggak sih? Jujur aja ya, baru kali ini aku jalan-jalan nggak hepi kayak begini," Jimmy mengeluarkan unek-uneknya.

"Mana ada seleksi seperti itu? Mereka diseleksi karena kualitas tulisannya masing-masing." Linna kemudian memelankan suaranya. "Tiga hari lagi, tolong ditahan ya, Jim."

"Aigoo¸kalau nggak dibayar mungkin aku udah kabur dari kemarin."

Petualangan mereka memang belum berakhir. Karena itu Jimmy menginginkan semuanya baik-baik saja. "Besok pagi kita check out dan langsung ke Jeungdo. Perjalanannya lumayan lama, sekitar 4 jam."

Linna mengangguk paham.

.

.

Rombongan dari Travel Arirang tiba di hotel dengan wajah lelah di sore hari itu.

"Kita nggak lanjut jalan nih?" Yuli jadi bête karena belum sempat eksplor seluruh Pantai Basah Suncheon.

"Istirahat aja dulu. Nanti kita makan malam di luar," timpal Linna.

Mereka kemudian masuk ke lobi; bersiap akan menaiki lift.

"Fa, lo bawa kuncinya kan? Kunci gue ketinggalan di kamar," sahut Ramzi tiba-tiba.

Afa tersentak. Ia baru mengingat soal kunci! Ia mencari ke kantong baju, celana, lalu membongkar tas kecilnya ke lantai lobi, tapi hasilnya nihil!

Noura memperhatikan kepanikan Afa dengan mata elangnya.

"Nggak ada," suara Afa mengecil.

"Waduhh, ilang kuncinya? Denda seratus ribu won, lho," Jimmy mengingatkan.

"Di kantin! Pasti ada di kantin!" Afa berlari ke sana, tapi sepuluh menit kemudian ia kembali tanpa punya semangat.

"Nggak ada, Fa?" Ramzi mulai tak sabaran. Ia ingin masuk kamar secepatnya.

Afa menggeleng pasrah.

"Ya, ampun, emangnya tadi ditaruh di mana?"

Afa malas menjelaskan karena ia lelah. Fokusnya tertuju ke Noura yang masih menatapnya dengan ekspresi mengkal. Ia langsung naik pitam.

            "Minta kunci lagi sama resepsionis, tapi maaf ya, Fa, aturan hotel di sini ketat," Jimmy memasang wajah simpati

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Minta kunci lagi sama resepsionis, tapi maaf ya, Fa, aturan hotel di sini ketat," Jimmy memasang wajah simpati.

Afa tidak langsung menuju resepsionis, ia malah berjalan menghampiri Noura dan menunjukkan kemarahannya. "Silakan bully gue sepuas lo. Tapi gue nggak akan pernah balikan sama lo."

Bibir Noura bergerak ke samping. "Siapa yang ngajakin lo balikan? Ngaur. Emang enak duit ilang sejutaan," ia terkekeh-kekeh. Seratus won itu jika dirupiahkan bisa dapat sejuta lebih.

Afa membalikkan badannya cepat-cepat dan bergegas menuju resepsionis.

Yuli sampai ngeri sendiri melihat Noura. "Lo yang ilangin kartunya?"

Noura mengedikkan bahu. "Enak aja. Itu sih emang cowok sontoloyo itu yang ceroboh. Udah ah, gue mau ke kamar."

Yuli hanya memperhatikan Noura jalan duluan, dan masuk ke lift.

Noura menatap dirinya sendiri di dinding lift. Tawanya sudah lindap. Ia berhasil bikin gara-gara lagi pada Afa dan Afa kena batunya. Namun Noura tidak bahagia. Sakit hatinya tak mau hilang. Ia harus bagaimana agar luka ini bisa lenyap dalam sekejap? Kepedihannya pun berubah menjadi bulir-bulir air yang membasahi kedua pipi.

 Ia harus bagaimana agar luka ini bisa lenyap dalam sekejap? Kepedihannya pun berubah menjadi bulir-bulir air yang membasahi kedua pipi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.

.

Yuli yang baru saja tiba di kamar setelah melakukan liputan, terdiam ketika mendengar suara makian yang begitu membahana. Ia pun buru-buru masuk dan memperhatikan kamar yang berantakan. Ada kengerian yang bisa ia rasakan dari teriakan-teriakan menyayat hati itu. Matanya membelalak ketika Noura marah-marah pada cermin. Namun anehnya mata Noura tetap terpejam.

"Gue benci lo! Pergi dari hidup gue! Pergi!"

Yuli tahu apa yang tengah terjadi. Noura mengigau. Ini bukan pertama kalinya ia melihat orang mengigau, tapi apa yang ada di depannya sekarang berbeda dengan yang sudah-sudah. Apalagi ketika Noura mulai memukul-mukul cermin.

Yuli yang prihatin langsung merengkuhnya. "Ra, kita tidur ya," suaranya terdengar lembut. Ia juga mengusap perlahan kepala Noura. Setelah Noura kian tenang, Yuli menuntun Noura kembali ke kasur.

Noura masih terisak. Sesal itu kemudian menguar dari dada Yuli; diikuti dengan rasa penasaran yang kian mencuat. "Dia udah mengalami kejadian apa ya sampai tidurnya rusuh begini?" Ia tiba-tiba mengingat kejadian di lobi tadi. "Si Afa beneran nggak punya hati. Nggak tahu apa mantannya menderita banget? Kapan-kapan gue kasih dia perhitungan."

Maka Yuli membentangkan selimut ke tubuh Noura. Membiarkan cewek itu beristirahat sejenak. Besok ia tidak yakin semuanya akan berjalan dengan lancar, tapi ia tidak akan membiarkan Noura menyerah begitu saja.

.

.

Dingin. Itu yang Afa rasakan. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena datang kemari tanpa membawa mantel tebal yang menggantung di pintu kamarnya. Niatnya hanya ingin menenangkan diri; menghindar dari berbagai macam pertanyaan yang Ramzi katakan.

Biru yang biasa dilihatnya menghitam. Lampu-lampu penerangan membuat matanya sakit. Sampai hari ini pun ia keheranan sendiri. Apakah keputusannya ikut perjalanan ini sudah tepat? Ketika bertemu Noura pertama kali kemarin setelah dua bulan lamanya berpisah, ia mulai gamang. Kacau. Itulah yang ada di kepalanya sekarang.

Afa paham bahwa ia tidak bisa memaklumi apa yang Noura lakukan padanya. Tidak ada artinya lagi untuk menahan diri. Maka ia mengambil ponsel dan menyapa orang di telepon seberang. "Hai, udah siap? Aku tunggu kamu." Ia tidak mampu sendirian berada di sini.

Jeolla, I'm Hurt (COMPLETED)Where stories live. Discover now