Yang Telah Lalu Bagian 5

196 19 4
                                    

Haloo, maaf telat update. Weekend kemarin lagi liburan di luar kota, nggak bawa laptop hoho. Selamat membaca ya ~

.

.

Di hari itu yang hanya Noura lihat adalah warna kelabu. Warna-warna lain hilang dari hidupnya. Ia tidak mengingat keindahan merah di bunga mawar, keceriaan putih pada awan, dan kemeriahan jingga di matahari yang tenggelam. Bertahun-tahun ia mencoba untuk berdiri sendiri. Mencoba menjadi cewek setegar karang. Namun usahanya sia-sia. Alasannya untuk tegar sekarang hilang begitu saja.

Noura tidak mengerti ekspresi apa yang ia harus pasang ketika jasad mendiang ayahnya perlahan dimasukkan ke dalam liang lahat. Air matanya sudah habis ia keluarkan di hari-hari yang lalu. Pandangan dan pikirannya kosong. Sekarang ia benar-benar jadi yatim piatu. Dua bentengnya terlalu cepat pergi, bahkan sebelum ia mampu berdiri seorang diri.

Sepulang dari pemakaman, Noura masih terdiam di meja makan. Ada Afa yang duduk di sebelahnya menemaninya makan siang, tapi Afa pun jadi sama sekali tidak makan karena terlalu khawatir dengan Noura. Afa ingin mengingatkan, hanya ia tahu memaksa adalah hal yang pantang ia lakukan saat ini. Karena itu ia tetap mengawasi cewek itu, meski sedari kemarin kehadirannya tidak diindahkan oleh Noura.

Ruang makan itu tiba-tiba jadi ramai ketika beberapa sanak saudara Noura hadir.

Afa menoleh dan bertemu pandang dengan Alika. Ia hanya tersenyum tipis pada cewek itu. Karena sudah cukup mengenal Tante Rana, ia pun menyalaminya dengan sopan.

"Afa, kamu kalau capek jangan dipaksain. Biar Tante yang jaga Noura."

"Nggak masalah kok, Tan," Afa mencoba meyakinkan. Ia memang tidak ingin meninggalkan Noura.

"Noura, pulang ke rumah Tante yuk," Tante Rana belum menyerah. Ia kembali membujuk Noura untuk tinggal bersama dengannya. Wajar ia begitu khawatir. Kakaknya yang merupakan ayahnya Noura sudah pergi untuk selama-lamanya. Noura sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain keluarganya dan ia tidak ingin Noura menghadapinya seorang diri.

Noura kemudian berdiri. Ia menjawabnya dengan suara tertengah berbisik. "Aku mau di sini aja, Tante. Sayang kalau rumahnya nggak ditinggalin. Rumah ini kan hasil kerja keras Papa."

Alika kemudian mengeluarkan suara. "Udah lo nggak perlu—"

"Diem, Lik," Tante Rana segera memotong ucapan Alika sebelum anaknya mengeluarkan kalimat menyebalkan. Ia tahu Alika tidak pernah akrab dengan Noura.

Alika menggerutu. Ia sebenarnya ingin mengolok-olok Noura yang pura-pura kuat, bukan untuk mengajak bertengkar. Noura yang ada di hadapannya ini bagai mayat hidup yang tak tahu ke mana harus berlari. Ia jadi kesal sendiri melihat Noura yang tampak lemah seperti ini. Padahal kan Noura selalu berapi-api.

"Jangan gitu dong, Ra. Masa kamu tinggal sendirian di sini."

"Aku harus urusin tahlilan Papa di sini, Tan. Pasti repot kalau aku bolak-balik ke sini dari rumah Tante," Noura mulai memberikan banyak alasan. "Ada dua pembantu yang bantuin Noura."

Saking kesalnya Alika mulai mendesis, tapi ia terdiam ketika ada langkah kaki tegas yang berhenti di dekat mereka. Ia mendelik saat menemukan Afa di samping Noura. Saat itu pula tanpa ia sadari kakinya mundur selangkah. Kepalanya menunduk karena tidak ingin kepanikannya terbaca oleh orang-orang di sekitar.

"Tante tenang aja, biar saya yang ngawasin Noura di sini. Dia cuma butuh waktu. Tolong dimengerti, Tan. Semuanya ini masih mendadak buat Noura."

Tante Rana berpikir sejenak. Ia begitu khawatir karena Noura yang ekspresif berubah jadi batu seperti Alika. Noura bahkan tidak bisa marah, padahal jika kesal sedikit saja Noura akan berteriak. Dan apa-apaan sahabat Alika ini? Tante Rana masih keheranan karena dulu Afa terlihat ke mana-mana bareng Alika, tapi sekarang keadaan berbalik terlalu cepat. "Kamu sekarang akrab banget ya sama Noura."

"Noura asik dijadiin temen kok, Tan," Afa tersenyum kecil.

Fokus Tante Rana kembali pada Noura yang terdiam sembari melihat ke sekeliling ruang tamu. Ia paham tidak bisa berlama-lama di sini. "Kalau gitu Tante pulang ya. Kalau Tante telepon, angkat lho. Kalau nggak, Tante pasti langsung ke sini."

Noura hanya mengangguk. Ia memperhatikan Alika dan Tante Rana pergi, fokusnya lalu beralih ke Afa. "Lo balik aja, Fa."

Afa tegas menggeleng. "Lo belum makan, gue mau masakin bubur—"

"Percuma, gue bener-bener nggak nafsu makan," Noura kemudian berlalu.

Afa hanya memperhatikan dari tempatnya. Ia akan melakukan apa saja agar Noura bisa menjalani hidup seperti biasa, walaupun sulit ia tidak akan berhenti mencoba.

Jeolla, I'm Hurt (COMPLETED)Where stories live. Discover now