Yang Telah Lalu Bagian 6 (II)

157 18 6
                                    


Yuli 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Yuli 


Ramzi wkwk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ramzi wkwk


Noura merasa lebih rileks ketika merendamkan sebagian kakinya di dalam kolam renang. Kehadiran Afa di sebelahnya juga menjadikan hari ini jadi lebih bermakna. Ia begitu senang Afa mengajaknya kemari. Tadinya ia berpikir akan membosankan, tapi ternyata ia salah besar.

"Makasih ya udah ajak aku ke sini," ujar Noura dengan tulus.

"Sama-sama. Mudah-mudahan kamu nggak bosen kalau nanti aku sering ajak kamu ke sini."

"Nggak kok." Noura lalu mengayunkan kakinya perlahan. "Mama kamu orang yang menyenangkan. Dia ngebuat aku lupa kalau aku udah lama banget nggak punya ibu."

"Kamu boleh anggap ibuku sebagai ibumu juga kok."

Noura tertawa. "Kamu ini ya." tiba-tiba saja Noura ingin memastikan sesuatu. "Sepertinya kamu sudah melalui banyak hal ya?"

Afa hanya mengangguk. Kalimat-kalimat itu lalu meluncur saja dari bibirnya. "Setelah divonis ALS, Papa hanya bertahan setahun juga, sama kayak Bapak. Saat itu aku baru mau kuliah di jurusan Bahasa Korea, tapi aku memutuskan keluar dan mengurus Bapak langsung. Aku memutuskan berhenti jadi anak yang egois. Sebagian hidup Bapak dicurahkan buat aku, makanya aku tahu sudah saatnya mencurahkan hidupku buat Bapak seorang."

Sama.

Satu kata itu tercekat di tenggorokan Noura.

"Setahun Bapak berpulang, aku mutusin lanjut kuliah fisioterapis. Ketemu sama Alika dan dia banyak ceritain tentang kamu. Alika juga cerita tentang Papa yang kena ALS, makanya aku pengin kenalan sama kamu. Tapi sayangnya Alika nggak mau ngenalin aku ke kamu. Katanya kita terlalu berbeda, jadi nggak akan bisa akrab." Afa kemudian tertawa sendiri.

Noura mendongak. "Ah, emang ngeselin si Alika," cibirnya. "Terus malah kamu sendiri yang deketin aku."

Afa mengangguk. "Soalnya udah terlanjur penasaran dan aku bukan cowok yang gampang menyerah."

"Ish, gombal," Noura menepuk bahu Afa perlahan.

"Oh ya, ini." Afa kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.

Noura mendelik memperhatikan casing ponsel serbabiru yang berada di tangan Afa.

"Sori ya baru diganti sekarang. Baru nemu."

Noura menerima casing ponsel Goblin itu dengan senang hati. Bentuknya persis dengan miliknya dulu yang sudah terbelah dua itu. "Kamu beli ini langsung di Korea?"

Afa menggeleng. "Nitip orang."

Ah ya, mana mungkin Afa sempat ke Korea. Cowok itu terlalu sibuk berada di sisinya. Dan Noura ingin Afa bisa merasakan kebahagiaan juga, tapi ia tahu bahwa ia yang harus lebih dulu berbahagia.

"Kayaknya bakal keren ya kalau kita liburan sama-sama ke Korea," tiba-tiba saja Noura mencetuskan ide itu.

"Boleh juga tuh. Aku lagi pengin banget Jeollanam-do," ungkap Afa.

"Jeollanam-do?"

"Pasti nggak tahu kan? Udah nanti ikut aku aja. Sekali ke Jeollanam-do pasti nantinya pengin balik lagi ke sana."

Noura lalu menyampaikan keinginannya. "Aku pengin banget ke Naju, ke lokasi syuting Goblin itu."

"Kebetulan! Naju memang ada di Jeollanam-do.

"Yang benar? Kalau gitu, ayo kita ke Jeollanam-do!"

"Kita bisa akting sebagai raja dan ratu di sana," Afa menyampaikan ide yang tiba-tiba ada di pikirannya.

"Raja yang bunuh ratunya sendiri karena dianggap berkhianat itu? Ogah ah!" Noura lalu menatap Afa dengan intens. "Aku maunya kita jadi raja dan ratu versi kita sendiri."

"Ya, ya, nanti kita bisa sewa hanbok." Afa tertawa geli karena Noura ternyata bisa gombal juga.

Noura tertawa gemas. Ia bisa membayangkan perjalanan itu akan menyenangkan. "Ayo segera laksanakan. Bulan depan juga nggak masalah." Noura ingin cepat-cepat liburan. Ia memang sudah lama membutuhkannya. Tabungannya bisa digunakan untuk liburan.

"Tapi ada syaratnya." Afa mengeluarkan ekspresi yang sulit untuk Noura baca.

Namun Noura mau-mau saja masuk ke dalam permainan. "Apa syaratnya?"

"Bikinin aku nasi tim setiap hari dong," Afa mengucapkannya sembari malu-malu.

"Maruk amat setiap hari. Ngapain juga setiap hari kamu makan nasi tim?"

"Karena aku pengin setiap hari ada di sisi kamu."

Kali ini Noura benar-benar mematung. Ia ingin memastikan Afa mengucapkan hal itu dari hatinya yang terdalam. Di tatapnya mata teduh yang berbinar itu dalam waktu yang cukup lama. "Kamu yakin, Fa? Apa nggak terlalu cepat?" ia masih ingin memastikan.

"Aku yakin kok. Kita dalam beberapa bulan belakangan sering bersama-sama. Jadi, sekarang aku ingin bersama-sama denganmu tanpa ada batasan. Aku pengin menjaga kamu setiap saat. Aku nggak ingin kamu sendirian lagi."

Bagaimana bisa Noura menolaknya? Karena Noura sendiri menyadari Afa sudah menjadi bagian dari hidupnya.

Noura menangis terharu sembari memperhatikan Afa yang menyematkan cincin perak di jari manisnya.

"Jangan sampai hilang ya. Kamu simpan. Nanti aku pakaikan lagi di hari lamaran."

Namun Noura masih membutuhkan jawaban. Sebuah jawaban yang ia harapkan bisa membuktikan bahwa hal ini bukanlah mimpi belaka. "Boleh aku tahu kenapa kamu cinta sama aku?"

Afa menggeleng tanpa ragu. "Aku nggak tahu. Sepertinya nggak perlu alasan apa pun buat mencintai kamu. Mungkin karena memang kamu orangnya."

Noura tidak bisa berhenti tersenyum. "Kalau gitu nggak ada alasan bagiku buat nolak kamu."


Jeolla, I'm Hurt (COMPLETED)Where stories live. Discover now