Yang Telah Lalu Bagian 7 (1)

218 20 12
                                    

Selamat menuju berbuka puasa bagi yang menjalankannya...

.

.

Pagi itu Afa terbangun dengan sesak di dada. Aneh, sebelumnya ia tidak pernah merasakan sesulit ini menghirup udara. Badannya pun terasa lemah untuk melakukan aktivitas. Ia menyampaikan keluhan itu pada ibunya yang sebenarnya tengah mempersiapkan kue pesanan pernikahan kliennya. "Ma, napas Afa kenapa jadi sesak begini ya?"

Pertama kalinya Afa mengeluh sakit, kekhawatiran Shana tiba-tiba saja memuncak. "Ya udah, kita ke dokter ya. Biar Mama yang nyetir mobil."

Afa mengangguk. Ia hendak berbalik, tapi tiba-tiba ia berlutut di lantai yang nyaris membuat jantung Shana copot. Buru-buru ia membantu anaknya untuk berdiri. "Afa! Kamu nggak apa-apa?"

"Aku nggak ngerti, Ma. Tiba-tiba aja kakiku lemas." Afa berusaha untuk berdiri, tapi kakinya seperti mati rasa. Akhirnya ia memilih duduk di lantai.

Napas Shana memburu. Ia lalu menutup mulutnya dengan tangan. "Ya, Tuhan." Meski sudah bertahun-tahun yang lalu, kejadian itu masih terekam jelas di otaknya. Sama seperti gejala ketika suaminya terkena serangan gangguan saraf yang mematikan itu. "Mama takut ada apa-apa sama kamu. Kamu nggak masalah kan diperiksa berjam-jam? Mama hubungin Noura ya."

Afa masih menerka-nerka apa yang terjadi dengan dirinya, tapi bisa dipastikan untuk saat ini ia tidak ingin membuat Noura khawatir. "Biar Afa aja yang hubungin Noura, Ma." Ia juga ternyata memikirkan hal yang sama seperti ibunya. "Penyakit itu nggak menular kan, Ma? Mama yang dulu lebih sering mengurus Papa... harusnya penyakit itu nggak mudah berpindah ke orang lain, kan?"

Shana begitu terpukul ketika menyadari tubuh Afa yang gemetaran. Afa dulu melihat bagaimana ALS merenggut satu per satu kehidupan ayahnya. Dan baginya saja sudah cukup menyakitkan. Bukan hanya Afa yang takut, tapi dirinya juga. "Kamu tenang aja. Yang kamu khawatirkan belum tentu terjadi. Biar dokter nanti yang memberikan vonis."

.

.

Namun Afa tidak pernah menceritakan pemeriksaan yang panjang itu. Di depan Noura, Afa selalu berusaha untuk sehat-sehat saja. Ia bersyukur keseimbangan tubuhnya bisa ia jaga dengan hati-hati. Noura juga pernah punya pengalaman yang sama dengannya. Jika Noura mengetahuinya, Afa rasanya ingin hilang saja dari muka bumi ini.

"Aku pengin gaun biru muda ini. Gimana, Fa? Kamu suka?"

Afa memperhatikan katalog gaun pernikahan yang Noura tunjukkan padanya. Ia tersenyum lebar-lebar. "Suka. Mama pasti bakal suka juga-a."

Noura mendongak karena suara Afa yang tiba-tiba saja terbata-bata. Ia kemudian membawa tangannya mengusap pipi Afa. "Kamu sakit?"

Afa menelan ludahnya sendiri. Jika sudah seperti ini jadinya ia harus memikirkan cara lain. "Nggak. Mungkin kurang tidur aja. Agak deg-degan juga nikahin kamu haha."

Sayangnya Noura memang belum tahu bahwa adalah sosok yang pintar berakting. Ia tersenyum saja mendengar keluhan Afa itu. "Sampai segitunya?"

Afa mengangguk kuat-kuat. Ia kemudian mencoba mengirimkan sinyal untuk Noura. Kalimat ini ia ucapkan dari hatinya yang paling dalam. "Banyak yang aku takutkan sebenarnya." Aku takut nggak bisa membahagiakanmu.

Dahi Noura mengerut, tidak paham mau dibawa ke mana pembicaraan ini. "Apa yang kamu takutin?"

"Takut kehilangan kamu," Afa kembali nyengir kayak kuda.

"Apaan sih," Noura menatap Afa dengan penuh cinta. "Kamu tahu aku nggak akan ke mana-mana."

"Aku juga inginnya berada di sisi kamu terus."

"Ya udah, itu lebih dari cukup kok buat aku." Noura kemudian mengingat apa yang ingin ia sampaikan pada Afa. "Di hari lamaran nanti, jangan sampai terlambat ya."

Mata Afa memutar tanda ia siap-siap ingin mengeluarkan guyonan lagi. "Yah, nggak jamin juga kalau jalanan nggak macet."

"Oke, aku siap dengan kemungkinan yang satu itu. Tapi terlambatnya jangan sampai berjam-jam dong."

"Aku nggak mungkin terlambat selama itu." Afa meyakinkan Noura dan meyakinkan dirinya sendiri. "Kamu kenapa tiba-tiba ngomong seolah-olah aku nggak datang?"

"Aku cuma bercanda. Kamu serius banget sih," Noura mengeluarkan gaya bicaranya yang manja.

Afa menarik napas lega karena takut Noura berpikiran yang macam-macam. Namun apa yang harus ia lakukan untuk menghilangkan kesuraman hari-harinya ini? Dokter sudah menyatakannya positif terkena ALS. Penyakit yang sama yang membuat ayahnya meninggal lima tahun lalu. Semua orang yang terkena ALS lambat laun akan tiada. Namun sebelum ajal menjemput, penderitanya diberikan berbagai macam cobaan. Membayangkan kemampuan motoriknya hilang satu per satu membuat Afa menahan tangisnya sebisa mungkin.

Bagaimana caranya menyampaikan pada Noura bahwa sisa umurnya menjadi pendek? Di sisa umurnya, ia harus menghabiskannya di atas kursi roda. Tidak ada kaki yang bisa berjalan dengan leluasa. Tidak ada tangan yang bisa menggenggam dengan erat. Tidak ada suara yang bisa mengucapkan cinta kapan saja.

"Seumur hidup gue bakal merepotkan Noura. Tadinya gue pikir gue bisa bahagiain dia, tapi ternyata gue malah membuat penderitaannya bertambah besar."

"Fa, aku udah list lho hal apa aja yang bakal kita lakukan di Korea nanti."

Ucapan Noura itu membuat lamunan Afa buyar. Ia pun mendengarkan penjelasan dari Noura dengan saksama, meski untuk yang satu ini ia tidak yakin mampu menepati janjinya.

.

.

Afa bangun di hari yang sebenarnya menakutkan baginya. Perasaan takut yang bersarang di hatinya ini berbeda dengan perasaan takut yang dirasakan mereka-mereka yang akan menikah. Ia takut akan membuat Noura menderita. Ia takut Noura akan pergi. Ia takut dengan masa depan suram yang sedang mengintainya. Lalu apa yang harus ia lakukan? Apa ia bilang saja hal yang sebenarnya pada Noura, meski dengan konsekuensi Noura meninggalkannya?

"Afa, kamu sudah bangun? Ayo kita siap-siap."

Afa pun beranjak keluar kamar. Tentu saja ia tidak boleh melewatkan hari spesial ini begitu saja. Ia lalu bersiap turun melalui tangga, tapi seketika tangga menjadi hal yang mengerikan baginya. Tangga di depannya ini berjumlah sangat banyak dan begitu tinggi. Pandangannya mengabur. Ia tidak yakin akan sanggup melaluinya. "Noura udah nungguin gue, gue harus ke sana biar bisa menjelaskan semuanya juga."

Maka kaki kanan Afa diturunkan ke anak tangga pertama. Tangannya mencengkeram kuat pegangan. Kaki kirinya kemudian turun di anak tangga kedua. Dan lagi-lagi ia kehilangan keseimbangan! Tubuhnya terguling menuruni anak tangga demi anak tangga. Teriakan Afa yang menggelegar membuat Shana dan pembantu rumah tangga buru-buru menghampiri Afa yang sudah tergeletak di lantai dasar tangga.

Jeolla, I'm Hurt (COMPLETED)Where stories live. Discover now