Yang Telah Lalu Bagian 7 (II)

353 21 10
                                    

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H. Mohon maaf lahir dan batin ya.

Selamat membaca ^^

.

.

Afa tidak ingat kapan ia dibawa ke rumah sakit, tapi ia ingat betul harusnya hari ini ia melamar Noura. Ia sudah berjanji pada Noura akan datang. Dan Noura akan terus menunggunya meski terlambat sekalipun. Hatinya langsung lemas ketika terbangun ia sudah berada di rumah sakit saja dan menemukan hanya Shana yang berada di sisinya. "Sekarang udah jam berapa, Ma?"

"Jam sebelas malam," Shana menjawabnya dengan bisikan.

Selama itu ia pingsan? Namun Afa berpikir hari belum berganti ke esoknya, ia pun mencoba bangkit. Namun yang badannya terasa ngilu di seluruh bagian. Pertahanannya runtuh ketika ia kesulitan menggerakkan kakinya. "Nggak mungkin aku berhadapan dengan Noura dengan keadaan seperti ini. "

"Nggak apa-apa, Fa. Kakimu keseleo aja." Shana berusaha menenangkan anaknya. Sebagai ibu ia berusaha menjadi manusia yang tegar. Dua kali ia mengalaminya, dua kali ia dipaksa menerima kenyataan mengerikan ini. Ia menghapus air yang membasahi pipi anaknya.

"Mama belum bilang apa-apa kan sama Noura?"

Shana menggeleng, ia ternyata tidak tega juga dengan Noura, hingga bingung karena anaknya juga tidak sadarkan diri selama berjam-jam. "Mama niatnya mau ketemu sama Noura—"

"Nggak usah, Ma. Biar Afa aja yang sampaikan langsung sama Noura." Afa melakukan keputusan yang berat. Keputusasaan tengah menghantuinya dan ia yakin ini adalah keputusan yang tepat. "Afa batalin aja pernikahannya."

Shana mencari kepastian dari mata anaknya. "Kita bisa mengundurkan hari pernikahan dengan mengatakan hal yang sebenarnya sama Noura. Dia pasti bisa mengerti."

Afa menggeleng kuat. "Dia pasti bakalan sedih banget. Aku ingin Noura bahagia."

Shana jadi terisak-isak. Ia begitu antusias menyiapkan pernikahan anak satu-satunya itu dan tidak sabar menyambut kedatangan anggota baru yang ia yakin bisa menjadikan rumahnya seramai dulu. Melihat Afa yang berbahagia karena akan menikahi pujaan hatinya, membuatnya seakan tahu bahwa ini juga adalah keputusan yang berat untuk anaknya. Melihat anaknya menyerah seperti ini ia sendiri tidak tahu harus bagaimana.

Karena itu ia mengizinkan Afa menelepon Noura untuk terakhir kalinya di malam buta saat pergantian hari.

Afa mengucapkan kalimat ini dengan luka yang menganga di dada. "Maafin aku, Noura. Aku nggak bisa nikahin kamu."

.

.

Hari-hari Afa lalui bolak-balik ke rumah sakit untuk melakukan terapi. Dan ada kabar bagus juga dari dokter yang dulu juga pernah mengurus ayahnya. "Biasanya penurunan fungsi motorik pada penderita ALS itu berlangsung cepat. Dalam kurun waktu berbulan-bulan saja ada yang lumpuh total. Tapi dikasusmu ini beda. Penurunan fungsi motorik di tubuhmu berjalan sangat lambat. Semoga kamu masih punya harapan untuk sembuh."

Afa terlihat berpikir. Pernyataan dokter itu memang cukup masuk diakal. Berjalan secara normal masih bisa ia lakukan. Akhir-akhir ini frekuensi sesak yang ia rasakan mulai berkurang. Namun tentu saja hal itu tidak serta merta membuatnya lega. Penyakit itu masih menghantuinya siang dan malam. "Penyakit ini belum ditemukan obatnya kan, Dok?"

Dokter tercenung melihat wajah datar Afa. "Para peneliti masih mencari tahu."

Afa mengangguk paham, tapi sebenarnya masih banyak yang belum ia pahami. Akhirnya ia menyampaikan keluhannya yang lain. "Saya harusnya menikah sama seorang wanita yang bapaknya terkena ALS."

Jeolla, I'm Hurt (COMPLETED)Where stories live. Discover now